Harapan Ibunda Eliezer Jelang Putusan dan Keyakinan LPSK kepada Majelis Hakim

Sidang vonis Richard Eliezer akan digelar pada Rabu 15 Februari 2023.

ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua Hutabarat, Richard Eliezer. Sidang vonis Richard Eliezer akan digelar pada 15 Februari 2023. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Rizky Suryarandika

Baca Juga

Rynecke Alma Pudihang, ibunda dari terdakwa Bharada Richard Eliezer (RE) mengaku pasrah atas nasib hukum anaknya. Menurutnya, sebagai perempuan yang melahirkan Richard, tentunya menghendaki putranya itu mendapatkan hukuman seringan-ringannya atas kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J). Tetapi menurutnya, majelis hakim sebagai wakil Tuhan di persidangan, yang akan menentukan penghukuman.

“Semoga yang terbaik, yang paling baik (hukuman) dari hakim untuk anak saya. Sebagai orang tua, (ingin hukuman) seringan-ringannya,” ujar Rynecke saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Kamis (2/2/2023).

Rynecke bersama anggota keluarga lainnya sengaja datang dari Manado, Sulawesi Selatan (Sulsel) untuk melihat langsung proses peradilan terhadap Richard. Pada Kamis (2/2/2023) persidangan untuk Richard dengan agenda pembacaan duplik dari tim penasihat hukum.

Duplik tim pengacara, tanggapan atas replik yang diajukan jaksa pada persidangan pekan lalu. Replik dari jaksa penuntut umum (JPU) itu, pun sebagai tanggapan atas pembelaan atau pledoi Richard, dan tim pengacaranya, terkait tuntutan JPU.

Jaksa dalam tuntutannya, meminta majelis hakim menghukum Richard selama 12 tahun karena perannya sebagai eksekutor yang melakukan penembakan terhadap Brigadir J di Duren Tiga 46, Jakarta Selatan (Jaksel), Jumat (8/7/2022). Rynecke mengatakan, tuntutan 12 tahun terhadap putranya itu berat.

“Kalau Tuhan berkenan, semua pasti terjadi,” begitu sambung Rynecke ketika ditanya harapan agar putranya, Richard, dapat bebas dari hukuman berat. 

Setelah pembacaan duplik dari tim penasihat hukum Richard, majelis hakim memutuskan untuk membacakan vonis dan hukuman dalam sidang lanjutan, Rabu (15/2/2023) mendatang. Sidang pembacaan putusan terhadap Richard sebagai terdakwa, terakhir karena majelis hakim pada hari sebelumnya, Selasa (14/2/2023), dan Senin (13/2/2023) akan terlebih dahulu menyimpulkan nasib hukum terhadap empat terdakwa lainnya. Yakni, Sambo, terdakwa Putri Candrawathi, Kuat Maruf (KM), dan Bripka Ricky Rizal (RR). 

Terhadap empat terdakwa lainnya itu, JPU menuntut berbeda-beda. Jaksa dalam tuntutan terhadap Sambo, meminta majelis hakim menghukum mantan Kadiv Propam Polri itu dengan hukuman penjara seumur hidup. Sedangkan terhadap terdakwa Putri, KM, dan Bripka RR, masing-masing, jaksa menuntut hakim menjatuhkan pidana selama 8 tahun penjara.

 

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menduga adanya kesilapan atau perasaan berlainan dengan keadaan sebenarnya dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang tuntutan dan replik terhadap Bharada Richard Eliezer (E). Edwin mengeluhkan, JPU yang mengabaikan rekomendasi LPSK untuk meringankan hukuman Bharada E selaku justice collaborator (JC).

Namun, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu meyakini rekomendasi LPSK bakal didengar Majelis Hakim.

"Rekomendasi LPSK bukan untuk dipertimbangkan oleh jaksa tapi itu bahan pertimbangan hakim dalam jatuhkan vonis," kata Edwin kepada wartawan, Kamis (2/2/2023). 

Edwin menegaskan rekomendasi LPSK sudah sepatutnya dimuat dalam surat tuntutan. Hal ini sudah diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban. 

"Perintah UU yaitu rekomendasi dimuat dalam tuntutan," lanjut Edwin. 

Sehingga Edwin menyinggung JPU kurang memahami JC karena tak mengamini rekomendasi LPSK. Alhasil dampaknya menurut Edwin merugikan Bharada E. 

"Jaksa minim pustaka memahami JC, padahal sudah banyak kajian nasional internasional tentang JC," ujar Edwin. 

Edwin juga memandang JPU tidak paham JC diperlukan guna mengungkap kasus yang sulit pembuktiannya. Dengan bantuannya, maka seorang JC layak memperoleh reward, misalnya pengurangan masa hukuman. 

"Jaksa mendramatisasi derita Yoshua. Padahal keluarga Yoshua sudah memaafkan E. Keluarga J malah pertanyakan jaksa yang tuntut ringan PC (Putri Candrawati)," ucap Edwin. 

Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menilai peran terdakwa Richard Eliezer (RE) bukan sebagai pelaku yang menguak fakta dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J). Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Ketut Sumedana mengatakan, sebagai salah satu pelaku utama dan eksekutor pembunuhan berencana di Duren Tiga 46 Jakarta Selatan (Jaksel) itu, Richard tak dapat masuk dalam kriteria sebagai justice collaborator (JC), atau pelaku yang bekerja sama dalam pengungkapan kejahatannya.

Delictum (perbuatan) yang dilakukan oleh terdakwa Richard Eliezer sebagai eksekutor, yakni pelaku utama (pembunuhan berencana Brigadir J), bukanlah sebagai penguak fakta utama,” kata Ketut dalam penjelasannya, di Kejagung, Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Bukan cuma soal peran terdakwa Richard itu yang menghalanginya untuk mendapatkan status JC. Pokok kasus yang menjerat pemuda 24 tahun asal Manado, Sulawesi Selatan (Sulut) itu, juga tak masuk dalam kriteria kasus yang memberikan sarana pemberian status JC terhadap pelaku kejahatan.

Ketut menerangkan, istilah JC mengacu pada dua dasar hukum. Undang-undang (UU) 31/2014 tentang Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 4/2011 tentang whistleblower, dan JC. Pasal 28 ayat (2) huruf a UU LPSK tak memasukkan tindak pidana pembunuhan berencana sebagai perkara yang membuka peluang pemberian JC terhadap pelakunya.

“Bahwa kasus pembunuhan berencana bukanlah termasuk yang diatur dalam pemberian status justice collaborator,” terang Ketut.

 

Tuntutan Kasus Pembunuhan Berencana Brigadir J - (infografis Republika)

 

 
Berita Terpopuler