Pengakuan Dilema Jaksa Seusai Tuntut Richard Eliezer Hukuman 12 Tahun Penjara

Jaksa mengakui situasi yang dihadapi Richard Eliezer menimbulkan dilema yuridis.

Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Richard Eliezer saat akan menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (18/1/2023). Richard saat ini menunggu vonis hakim setelah dituntut 12 tahun penjara oleh jaksa. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Bambang Noroyono

Baca Juga

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sugeng Hariadi mengakui situasi yang dihadapi terdakwa kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Richard Eliezer atau Bharada E, menimbulkan dilema yuridis. Diketahui sebelumnya, tim JPU menuntut Eliezer 12 tahun penjara.

"Bahwa kondisi ini menimbulkan dilema yuridis karena di satu sisi, terdakwa Richard Eliezer dikategorikan sebagai seorang saksi atau pelaku yang bekerja sama," kata Jaksa Sugeng Hariadi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (30/1/2023).

Jaksa menilai keberanian dan kejujuran Eliezer telah berkontribusi membongkar kejahatan yang direncanakan untuk membunuh Yosua. Selain itu, keberanian Eliezer juga telah berkontribusi dalam membongkar skenario pengelabuan yang dibuat oleh pelaku utama pembunuhan,Ferdy Sambo.

"Namun, di sisi lain, peran dari terdakwa Richard Eliezer sebagai eksekutor penembakan terhadap korban Nofriansyah Yosua Hutabarat perlu juga dipertimbangkan secara jernih dan objektif," kata Sugeng.

Tuntutan tim JPU terhadap Eliezer sebesar 12 tahun penjara memicu sejumlah reaksi negatif dari berbagai pihak. Bahkan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) meminta jaksa untuk melakukan revisi terhadap tuntutan mereka.

LPSK menginginkan agar tuntutan kepada Eliezer lebih rendah daripada terdakwa lainnya, seperti Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf, dan Ricky Rizal yang masing-masing dituntut delapan tahun pidana penjara. Tim jaksa berpendapat tinggi dan rendahnya tuntutan yang mereka ajukan kepada majelis hakim terhadap terdakwa Richard Eliezer sudah memenuhi asas kepastian hukum dan rasa keadilan.

"Tim penuntut umum mempertimbangkan peran terdakwa Richard Eliezer sebagai eksekutor atau pelaku yang melakukan penembakan kepada korban Yosua sebanyak tiga, empat kali; sehingga berdasarkan hal tersebut, kami, tim penuntut umum, menuntut terdakwa Richard Eliezer selama 12 tahun penjara," ujar Sugeng.

Dalam nota pembelaan terhadap tuntutan atau pleidoi pekan lalu, Bharada Richard Eliezer mengaku tak dapat menolak perintah Ferdy Sambo untuk menembak Brigadir J. Menurut dia, sebagai ajudan, perintah penembakan tersebut tak dapat ia hindari mengingat pemberi perintah pada saat itu adalah atasannya sebagai Kadiv Propam Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen).  

“Sebagai seorang prajurit Brimob, dengan latar belakangnya adalah para militer, saya dididik untuk taat dan patuh, serta tidak mempertanyakan perintah atasan saya,” kata Richard.

Richard menyadari, penembakan yang dilakukan di Duren Tiga 46, Jumat (8/7/2022) tersebut, berujung pada kematian Brigadir J, rekannya sesama ajudan.  Pun berujung pada tindak pidana pembunuhan berencana yang menyeret pemuda 24 tahun itu sebagai terdakwa.

Tetapi kata Richard, jika perbuatannya menjalankan perintah penembakan tersebut berujung pada dirinya masuk penjara, harapannya kepada majelis hakim untuk memberikan keadilan. “Apabila dianggap ketaatan dan kepatuhan saya (terhadap atasan) yang membabi buta, maka saya menyerahkan kepada kebijaksanaan majelis hakim,” ujar Richard.

 

 

Direktur Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu bersama Pilnet dan Elsam pada Senin (30/1/2023) mengirimkan amicus curiae atau sahabat pengadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tujuannya, agar vonis untuk Richard Eliezer (Bharada E) lebih rendah dibandingkan terdakwa lainnya.

"Begitu Bharada E ini dianggap sebagai justice collaborator, maka harusnya putusan yang diberikan, reward yang diberikan adalah putusan yang paling ringan dari terdakwa lainnya," ucap Erasmus kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin.

Erasmus menjelaskan, meskipun persidangan masih berlangsung dan 12 tahun merupakan tuntutan jaksa, ICJR mengirimkan amicus curiae sebagai bentuk dukungan masyarakat kepada pengadilan untuk memberikan putusan seadil-adilnya. ICJR menilai hakim dan jaksa penuntut umum sudah memperlakukan Bharada E dengan baik selama proses persidangan berlangsung.

Erasmus juga mengatakan bahwa LPSK sudah menjalankan tugas dengan baik ketika memberi sisi perlindungan khusus. Akan tetapi, ketika jaksa memberikan tuntutan pidana penjara selama 12 tahun, Erasmus menilai bahwa tuntutan tersebut menunjukkan jaksa yang tidak konsisten.

Hal tersebut dikarenakan tuntutan Bharada E berdurasi 4 tahun lebih lama apabila dibandingkan dengan Putri Candrawathi (8 tahun), Ricky Rizal (8 tahun), dan Kuat Ma'ruf (8 tahun).

"Kami merasa bahwa tuntutan ini kurang konsisten, meskipun kami mendukung peran kejaksaan sebagai pengendali utama perkara persidangan, kami mendukung penuh peran kejaksaan itu, sebetulnya kami meminta kejaksaan lebih konsisten," ucap Erasmus.

Seharrusnya, Erasmus melanjutkan, hukuman untuk Bharada E lebih ringan apabila dibandingkan pelaku lainnya. Bagi Erasmus, vonis yang ringan untuk Bharada E penting bagi praktik pengadilan di Indonesia ke depannya.

"Supaya hakim juga bisa melihat praktik juctice collaborator itu sangat penting, apalagi dalam kejahatan-kejahatan terorganisir seperti kasus-kasus korupsi, narkotika, juctice collaborator sangat-sangat penting," tutur Erasmus.

Ihwal status justice collaborator, Kejaksaan Agung (Kejagung) sebelumnya menilai tidak bisa menerima permohonan status itu untuk Bharada Richard Eliezer. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana, mengatakan, rekomendasi status justice collaborator dari LPSK tersebut belum mendapatkan persetujuan dari majelis hakim yang mengadili kasus tersebut.

“LPSK itu cuma merekomendasikan saja. Penetapannya sebagai JC itu ada di hakim. Dan sampai hari ini, hakim tidak ada menetapkan (status terdakwa Richard sebagai JC),” kata Fadil, Kamis (19/1/2023).

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Ketut Sumedana menambahkan, rekomendasi LPSK untuk menjadikan terdakwa Richard sebagai justice collaborator, pun cacat kriteria. Ketut mengacu pada dua sumber hukum, Undang-undang (UU) 31/2014 tentang LPSK, dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) 4/2011 tentang whistleblower dan justice collaborator.

Ketut menjelaskan, Pasal 28 ayat (2) huruf a UU LPSK tak memasukkan tindak pidana pembunuhan berencana sebagai perkara yang membuka peluang pemberian justice collaborator terhadap pelakunya. “Bahwa kasus pembunuhan berencana bukanlah termasuk yang diatur dalam pemberian status justice collaborator,” terang Ketut.

Justice collaborator, kata Ketut menjelaskan, menurut UU LPSK tersebut hanya diberikan kepada pelaku kejahatan, yang melakukan tindak pidana tertentu dan khusus. Terkait tindak pidana tertentu, dan khusus itu, kata Ketut menerangkan, mengacu pada SEMA 4/2011.

 

Tuntutan Kasus Pembunuhan Berencana Brigadir J - (infografis Republika)

 
Berita Terpopuler