IDAI Terangkan Alasan tak Sekolahkan Anak Bila Batuk Pilek

Gejala Covid-19 di anak bisa bervariasi tak hanya di sistem pernapasan.

Republika/Thoudy Badai
Orangtua menjemput anaknya usai mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) saat hari pertama masuk sekolah di SD Negeri Anyelir I, Depok, Jawa Barat, Senin(18/7/2022). Sejumlah sekolah di Depok, Jawa Barat mulai menjalani pembelajaran tatap muka (PTM) di tahun ajaran baru 2022/2023. Kegiatan hari pertama tersebut diisi dengan pengenalan lingkungan sekolah, dasar pancasila, pramuka dan ekstrakurikuler yang berlangsung selama 3 hari mulai Senin (18/7) hingga Rabu (20/7/) mendatang. Republika/Thoudy Badai
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Dian Fath Risalah, Antara

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengeluarkan sejumlah rekomendasi terkait evaluasi pembelajaran tatap muka (PTM) di masa pandemi Covid-19. Salah satunya, orang tua diminta untuk tidak membawa anak ke sekolah apabila terdapat gejala demam, batuk, pilek, ataupun diare dan memastikan anak tersebut terinfeksi Covid-19 atau tidak.

"Tidak membawa anak ke luar rumah atau ke sekolah apabila ada gejala demam, batuk, pilek, atau diare. Kita tahu Covid-19 pada anak ini gejalanya bisa bervariasi tidak hanya sistem pernapasan, tapi juga saluran cerna dan juga sistem lain," ungkap Ketua Satgas Covid-19 IDAI, Yogi Prawira, dalam konferensi pers daring, Jumat (19/8/2022).

Menurut Yogi, orang tua sudah sepatutnya waspada dan harus memastikan anaknya terinfeksi Covid-19 atau tidak apabila anak mengalami gejala-gejala seperti itu. Terlebih apabila mereka berada di dalam daerah dengan situasi transmisi lokal Covid-19 yang tidak terkendali.

Di situ pula dia mengingatkan pentingnya kolaborasi dan komunikasi antara orang tua dan sekolah dalam memastikan keamanan, kesehatan, dan keselamatan anak. "Antara lain dengan melakukan testing pada anak dengan gejala Covid-19 dan patuh serta disiplin mengerjakan protokol kesehatan," terang Yogi.

Menurut IDAI dan KPAI, setiap anak harus mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengikuti pendidikan sesuai usianya masing-masing, baik yang sehat maupun yang memiliki komorbid, tanpa ada kesulitan dan diskriminasi sedikit pun. Orang tua atau wali anak memiliki hak untuk memilih metode pembelajaran yang tepat bagi anaknya.

"PTM dan atau pembelajaran jarak jauh, disesuaikan dengan kebijakan pemerintah pusat dan mempertimbangkan kondisi daerah masing-masing," jelas dia.

Jika orang tua menilai anak memiliki komorbid atau terdapat kendala di keluarga, seperti terdapat anggota keluarga dengan risiko tinggi mengalami Covid-19 berat, maka orang tua harus bisa berkonsultasi kepada dokter dan pihak sekolah untuk memperoleh surat keterangan terkait kondisi anak dan keluarganya. Proses pembelajaran pun diharapkan dapat bertransformasi dan dan beradaptasi sesuai kebutuhan anak.

"Dengan mempertimbangkan aspek merdeka belajar. Sehingga sangat dibutuhkan pemahaman tentang data yang saat ini ada di daerah masing-masing sehingga pemerintah, orang tua, dan pihak sekolah bisa bersikap fleksibel sesuai dengan transmisi lokal di daerahnya masing-masing," kata dia.

Rekomendasi berikutnya, pihak sekolah harus bekerja sama dengan orang tua atau wali anak untuk melakukan berbagai mitigasi bersama dalam rangka mengurangi dampak negatif kehilangan pembelajaran atau learning loss untuk masing-masing anak. Data menunjukkan, potensi learning loss yang terjadi bersifat individual sehingga diperlukan penyesuaian durasi dan metode dalam proses pembelajaran untuk setiap anak.

"Semua pihak hendaknya terus menerus secara aktif menyuarakan pentingnya mematuhi protokol kesehatan dan disiplin untuk melanjutkan kebiasaan baik yang sudah terbentuk selama masa pandemi," kata Yogi.

Berikutnya, perilaku hidup sehat yang sudah dibangun selama masa pandemi Covid-19 harus dipertahankan. Sebab, hal itu tidak hanya bisa mencegah infeksi Covid-19, namun juga mencegah penyakit infeksi lainnya yang merupakan penyebab kematian anak terbesar di Indonesia.

IDAI dan KPAI juga meminta pemerintah meningkatkan testing, tracing, dan treatment (3T) serta menampilkan data terkini kasus Covid-19 terkonfirmasi secara akurat dan transparan bagi seluruh warga satuan pendidikan, terutama yang menerapkan PTM di wilayahnya. "Jadi penting sekali ada dashboard yang sifatnya realtime dan transparan sehingga kita bisa melihat besaran masalah dari waktu ke waktu," jelas dia.

Kemudian, protokol kesehatan harus difokuskan kepada sejumlah hal. Pertama, penggunaan masker wajib untuk semua orang berusia di atas dua tahun dengan cara yang benar. Kedua, menjaga ventilasi atau aliran udara yang adekuat. Lalu mencuci tangan dan menjaga jarak. Berikutnya tidak membuka masker pada situasi yang sekiranya tidak dapat menjaga jarak. Menerapkan proses makan dan ibadah di sekolah yang aman dan menerapkan pengelolaan kantin sekolah yang aman juga harus dilakukan.

"Usaha bersama dari semua pihak dalam mengawal PTM aman dan mengakhiri pandemi dapat menyeimbangkan hak anak untuk memperoleh kesehatan maupun pendidikan. Termasuk memberikan kesempatan belajar di rumah pada anak yang sedang sakit atau memiliki komorbid sehingga tidak dapat menjalankan PTM," jelas Yogi.

Menurut Yogi, belajar hidup bersama dengan Covid-19 itu bukan berarti berpura-pura kalau Covid-19 itu tidak ada atau sudah terkendali. Melainkan semua pihak menggunakan semua modalitas serta semua daya upaya yang ada untuk melindungi diri sendiri, orang lain, dan orang-orang terkasih, terutama anak-anak Indonesia sebagai masa depan bangsa.








Baca Juga

IDAI menyoroti pula soal dampak learning loss. Orang tua diminta untuk turut mengawal pendidikan anak demi menekan risiko potensi learning loss pada masa pandemi Covid-19. Learning loss ternyata masih rentan terjadi meski anak sudah kembali belajar di sekolah.

"Seberapa pun umur anak, cara terbaik keluarga mengurangi daripada dampak learning loss ini adalah membuat suasana yang nyaman dan menyenangkan selama dia di rumah maupun di sekolah," ujar Ketua UKK Tumbuh Kembang Pediatri Sosial IDAI, Dr dr Ahmad Suryawan, Sp.A(K).

Ia mengemukakan learning loss merupakan situasi ketika peserta didik mengalami penurunan pengetahuan dan kemampuan (knowledge and skill) karena adanya diskontinuitas atau terinterupsinya proses pembelajaran karena pandemi Covid-19. "Yang kita perangi sekarang adalah learning loss, bukan PTM atau PJJ-nya," kata Ahmad Suryawan.

Ia menambahkan, keluarga dapat membuat potensi learning loss akan semakin kecil kalau mampu memberikan daya kreativitas yang tinggi selama pengajaran. "Guru mempunyai keterbatasan karena harus memperhatikan banyak murid, tapi orang tua punya potensi tersendiri dalam arti adalah untuk mendekati anak secara personal," tuturnya.

Sementara itu epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, riset terbaru menunjukkan bahwa anak-anak secara signifikan lebih mungkin mengalami ensefalitis, epilepsi, perdarahan intrakranial, stroke setelah Covid-19 dibandingkan dengan infeksi pernapasan lainnya. Ia pun meminta agar masyarakat tidak abai dalam mitigasi pencegahan Covid-19 pada anak.

"Kita akan menempatkan posisi anak dalam bahaya jika abai dan mengakhiri semua mitigasi (3T, 5M, Vaksinasi) infeksi SARS-CoV-2. Ancaman tsunami long Covid nyata. Lindungi diri Anda dan keluarga Anda dengan divaksinasi dan booster, kenakan masker berkualitas tinggi, tingkatkan ventilasi, sirkulasi dan menyaring udara," tegas Dicky dalam keterangannya kepada Republika, Jumat (19/8/2022).

Dicky mengingatkan potensi long covid bukan hanya mengancam pada orang dewasa tetapi juga pada anak-anak. Bahkan, proporsi dari penyintas anak dan dewasa yang berpotensi mengalami long Covid-19 di angka sama, yaitu sebesar 20 persen.

“Dan ini besar, apalagi kalau melihat komposisi penduduk kita atau jumlah penduduk kita yang besar ya di atas 200 juta, hampir 300 juta," ujarnya.

Dicky menjabarkan, bila 20 persen diambil dari separuh jumlah penduduk Indonesia yang sudah pernah terinfeksi Covid-19 dan berulang, maka jumlahnya akan sangat besar. Dengan kondisi seperti itu, sangat berpotensi membebani pembiayaan kesehatan pada 5-10 tahun ke depan, termasuk menurunkan kualitas dari kesehatan manusianya.

“Ini sangat serius ya, bahwa ancaman namanya pandemi Covid-19 ini tidak selesai atau dampaknya itu tidak selesai hanya ketika kasus melandai, hanya ketika kurva atau gelombang atau puncak terlewati, hanya ketika status pandemi dicabut," tegasnya.

Dicky melanjutkan, bila Indonesia tetap mengabaikan mitigasi pencegahan Covid-19 dan tidak meminimalkan penularannya, bukan tidak mungkin tsunami long Covid-19 akan dialami oleh bangsa ini. "Dan ini yang harus kita cegah, kita tidak mau menjadi bangsa yang sakit atau generasi penerus kita yang menjadi sakit ya, bolak-balik ke rumah sakit. Mau bagaimana nanti negara ini mengisi kemerdekaannya?" tegasnya lagi.

Oleh karenanya mitigasi mulai dari 3T, 5M dan vaksinasi Covid-19 hingga tiga dosis merupakan hal yang penting untuk terus dilakukan. Pemerintah, sambung Dicky, juga harus mempersiapkan bagaimana mekanisme proteksi pada anak-anak yang baru lahir dan yang baru memenuhi syarat untuk vaksinasi.

“Itu harus ditanggung negara, karena itu berbahaya kalau tidak diberikan proteksi. Ancaman tsunami long covid nyata. Lindungi diri Anda dan keluarga Anda dengan divaksinasi dan booster, kenakan masker berkualitas tinggi, tingkatkan ventilasi, sirkulasi dan menyaring udara," tegasnya.

Tanda Bahaya Covid-19 pada Anak - (Republika)

 
Berita Terpopuler