Dokter: Jangan Sampai Anak Sudah Stunting Baru Diperiksakan, Cegah Sejak Dini

Stunting tidak melulu terjadi karena minimnya asupan gizi anak.

Antara/Feny Selly
Petugas kesehatan menimbang berat badan bayi di Posyandu Delima 33, Palembang, Sumatra Selatan, Rabu (24/3/2021). Memantau pertambahan berat badan bayi merupakan salah satu cara deteksi dini stunting.
Rep: Santi Sopia Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Stunting merupakan suatu kondisi malanutrisi pada anak yang sebetulnya dapat dicegah sedini mungkin. Jika tidak diintervensi, anak yang mengalami stunting bisa tumbuh lebih pendek dibandingkan tinggi normal seusianya sampai dewasa.

Lebih parahnya lagi, stunting sangat berdampak pada perkembangan otak. Anak stunting juga akan mengalami gangguan kecerdasan karena kekurangan gizi mengakibatkan penahanan lemak dalam tubuh hingga memicu berbagai penyakit, termasuk jantung koroner.

Prof Dr dr Damayanti R Sjarif SpA(K) dari Satgas Stunting Ikatan Dokter Anak Indonesia mengatakan, memperbaiki yang sudah rusak bukan hal sederhana. Hal yang ditakuti soal stunting adalah terkait perkembangan otak dan risiko penyakit.

"Selain makan, tambah susu, distimulasi otaknya, dijalankan setengah mati, cuma sekian persen bisa diperbaiki, tapi yang penting anaknya jangan malanutrisi," kata Prof Damayanti dalam acara yang diselenggarakan aplikasi Tentang Anak, Selasa (5/4/2022).

Prof Damayanti mengimbau agar orang tua tidak terlambat memeriksakan anaknya. Jangan sampai anak sudah kurus, baru diperiksakan.

Baca Juga

"Begitu melihat tanda-tanda awal, harus segera diatasi," kata Prof Damayanti yang merupakan dokter spesialis anak konsultan nutrisi dan penyakit metabolik.

Untuk mengetahui tanda awal ini, penting melakukan pemeriksaan rutin timbangan berat badan bayi di posyandu. Jika pertumbuhan anak tidak sesuai panduan, grafiknya datar atau sejajar dalam buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), misalnya, maka harus segera ditangani dokter.

Prof Damayanti menjelaskan bahwa stunting bukan melulu dikarenakan tidak adanya asupan pada anak. Boleh jadi ada penyakit yang menyertainya, semisal TBC, sehingga penyerapan gizi tidak optimal dan itulah yang harus diobati terlebih dulu. Begitu pula jika mencurigai anak memiliki alergi, maka dokter akan mengusulkan asupan alternatif untuk si kecil.

Berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi stunting sebesar 24,4 persen. Sementara berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi obesitas pada balita sebanyak 3,8 persen dan obesitas usia 18 tahun ke atas sebesar 21,8 persen.

Tren ini diperparah oleh pandemi Covid-19. Survei tahun 2020 yang dilaksanakan terhadap rumah tangga berpendapatan rendah di Jakarta menemukan bahwa makanan bergizi, seperti buah, sayur, daging sapi, ikan, dan kacang-kacangan yang dikonsumsi anak-anak selama pandemi lebih sedikit dibandingkan 2018.

Balita stunting akan berdampak pada penurunan kualitas sebagai sumber daya manusia di masa dewasa. Oleh sebab itu, stunting harus dicegah terutama di 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).

Lewat fase itu, gizi seimbang anak pun tetap perlu dijaga. Berbagai cara dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan, seperti pemberian air susu ibu (ASI) dan makanan pendamping (MPASI) yang benar berbasis protein hewani.

Selain itu, pemantauan pertumbuhan yang teratur di fasilitas kesehatan seperti posyandu setiap bulannya juga diperlukan untuk deteksi dini. Tatalaksana segera terhadap kenaikan berat badan yang tidak memadai (weight faltering) terbukti dapat mencegah stunting.

 
Berita Terpopuler