RUU TPKS Batal Diparipurnakan DPR, Ini Penjelasan Puan

RUU TPKS pekan lalu sudah disahkan Baleg menjadi RUU inisiatif DPR.

DPR RI
Ketua DPR RI Puan Maharani. Puan menyatakan, pengesahan RUU TPKS menjadi inisiatif DPR hanya masalah waktu.
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPR Puan Maharani menanggapi batalnya rancangan undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) untuk diparipurnakan menjadi RUU usulan inisiatif DPR. Menurutnya, itu hanya masalah persoalan waktu untuk menetapkan RUU tersebut.

"Ini hanya masalah waktu, karena bahwa tidak ada waktu yang pas atau cukup untuk kemudian dilakukan secara mekanisme yang ada," ujar Puan usai rapat paripurna Penutupan Masa Persidangan II DPR RI Masa Persidangan II Tahun Sidang 2021–2022, Kamis (16/12).

DPR, kata Puan, berusaha mengikuti mekanisme yang ada dalam menetapkan RUU TPKS sebagai inisiatif DPR. Agar nantinya regulasi yang bertujuan untuk melindungi korban kekerasan seksual itu tak dapat digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca Juga

"Nanti saat undang-undang itu berlaku jangan kemudian ada yang menyatakan bahwa undang-undang itu melewati atau melampaui mekanisme yang berlaku. Jadi ini soal waktu timing, pimpinan dan DPR tentu saja mendukung dan segera akan segera mengesahkan ini melalui keputusan tingkat 2," ujat Puan.

Menurutnya, RUU TPKS dapat diparipurnakan menjadi RUU usulan inisiatif DPR pada masa sidang berikutnya. Pasalnya, lembaga legislatif itu akan menjalani masa reses mulai 16 Desember hingga 10 Januari 2022.

"Kami mendukung DPR mendukung agar ini segera disahkan untuk bisa menjadi satu undang-undang yang bisa kemudian menjaga menyelamatkan hal-hal yang sekarang ini banyak terjadi," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengajak semua pihak turut serta berjuang menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak. Menurut dia, salah satu caranya dengan mendukung dan mengawal agar RUU TPKS dapat segera disahkan.

Bintang menekankan, berbagai upaya Kemen PPPA tidak akan mencapai hasil optimal tanpa adanya payung hukum yang mengatur perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak secara komprehensif.

"Saya meminta semua pihak untuk mendukung dan mengawal agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dapat segera disahkan. Mari kita bangun semangat dan sinergi baru, untuk mewujudkan perlindungan menyeluruh dan sistematik," kata Bintang dalam keterangan pers, Ahad (12/12).

Pada Rabu (8/12) pekan lalu, Badan Legislasi (Baleg) DPR menyetujui RUU TPKS di bawa ke rapat paripurna DPR terdekat. Dalam rapat tersebut, sebanyak tujuh fraksi yang ada di DPR sepakat agar RUU TPKS menjadi RUU inisiatif DPR.

Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menyatakan setuju, tetapi dengan syarat agar pelanggaran seksual baik yang memiliki unsur kekerasan maupun tidak diatur di dalamnya.

"Menyetujui hasil Panja Baleg DPR RI terhadap penyusunan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan syarat seperti yang sudah disampaikan untuk diakomodir, untuk menjadi usul inisiatif DPR RI," ujar anggota Baleg Fraksi PPP, Syamsurizal.

Adapun anggota Baleg Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Al Muzammil Yusuf menyatakan tak setuju RUU TPKS untuk disahkan menjadi RUU usul inisiatif DPR. Alasannya, RUU tersebut disebut mengatur persetujuan seks atau sexual consent yang berpotensi menghadirkan seks bebas.

"Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyatakan menolak hasil panja tersebut untuk dilanjutkan ke dalam tahap selanjutnya," ujar Al Muzammil.

PKS, kata Al Muzammil, tegas tak akan menyetujui RUU TPKS berdiri sebagai undang-undang. Selama di dalamnya belum mengatur larangan tentang perzinahan dan penyimpangan seksual, seperti lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).

"Hal tersebut tidak sesuai dengan nilai Pancasila, budaya, dan norma agara yang dianut bangsa Indonesia. Maka Fraksi PKS menolak RUU TPKS sebelum didahului adanya pengesahan larangan perzinahan dan LGBT yang diatur dalam undang-undang yang berlaku," ujar Al Muzammil.

Al Muzammil menjelaskan, pasal-pasal terkait kesusilaan dan kekerasan seksual sudah dibahas dalam RKUHP oleh Komisi III DPR. Namun urung disahkan, karena polemik dari hadirnya pasal penghinaan terhadap presiden.

"Maka kami anggap apa yang kita lakukan sekarang menyisakan satu norma berbahaya, yaitu aspek non kekerasan menjadi satu yang tidak diatur. Kalau tidak diatur artinya itu menjadi sesuatu yang ditolerir, tidak ada sanksi," ujar Al Muzzammil.

"Kami sangat mendukung upaya kita untuk mencegah tindak pidana kekerasan seksual, tapi kita tidak boleh menyisakan satu ruang yang menjadi konsen sila pertama Pancasila," sambungnya.

Perempuan rentan jadi korban kekerasan - (Republika)

 
Berita Terpopuler