Pakar: Sulit Diprediksi Masa Depan Afghanistan

Taliban membentuk pemerintahan baru di Afghanistan.

AP/Matthias Schrader
Orang-orang tinggal di dekat pagar Pangkalan Udara AS Ramstein di Ramstein, Jerman, Senin, 30 Agustus 2021. Komunitas militer Amerika terbesar di luar negeri menampung ribuan pengungsi Afghanistan di sebuah kota tenda di pangkalan udara.
Rep: Wahyu Suryana Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, SLEMAN -- Taliban membentuk pemerintahan baru di Afghanistan.  Dosen HI UII, Hadza Min Fadhli Robby mengatakan, persoalan ini harus dilihat dan dipahami dari perspektif personal rakyat Afghanistan terlebih dulu.

Baca Juga

Menurutnya, dari perbincangan dengan rekan-rekannya di sana, perasaan rakyat Afghanistan disebut bercampur aduk.

"Ketidakpastian rezim memiliki efek buruk kepada kelangsungan sosial ekonomi dan budaya. Yang penting untuk Taliban bagaimana memberi atmosfer kepastian kepada rakyat Afghanistan dan itu belum terlihat," kata Hadza dalam Institute for Global and Strategic Studies (IGSS) Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (31/8).

Ini diperparah sektor keuangan dan perbankan semakin melemah karena International Monetary Fund (IMF) mematikan akses pendanaan ke Afghanistan. Akibatnya, ekonomi publik ikut terdampak, terutama bagi orang-orang dengan pekerjaan kelas menengah.

Peneliti IGSS UII, Rizki Dian Nursita menilai, tidak mudah memprediksi dan memberikan pandangan obyektif tentang apa yang akan terjadi di Afghanistan ke depannya. Negara itu sudah cukup lama dirundung konflik tidak berkesudahan.

 

 

Rakyat Afghanistan yang alami perang dan konflik berkepanjangan dianggap sebagai kelompok rentan, terutama perempuan dan anak-anak. Marginalisasi kepada perempuan terjadi karena pemahaman dan interpretasi kaku terhadap sumber pengetahuan agama.

Pandangan terhadap nash yang kaku menimbulkan pembatasan wanita di ruang publik, termasuk mencari pekerjaan dan mengakses pendidikan. Tentu ini tidak dibenarkan dan melanggar HAM, apalagi muncul persepsi wanita sosok yang kurang diapresiasi.

Ada fenomena anak perempuan berperilaku seperti anak laki-laki untuk mendapat akses pendidikan (bacha posh) dan menjual-belikan anak laki-laki (bacha bazi). Ini menimbulkan krisis identitas kepada diri kerap dialami anak-anak Afghanistan.

 

"Saya agak sulit memprediksi apakah Taliban akan menjalankan janji politiknya atau tidak. Kita mungkin bersikap moderat, tergantung seberapa terbuka Taliban terhadap nilai-nilai yang berasal dari luar seperti kesetaraan gender, HAM dan lain-lain," ujar Dian.

 
Berita Terpopuler