Syekh Abdurrahman Siddiq Berdakwah dengan Karya (II-Habis)

Syekh Abdurrahman Siddiq sempat diangkat sebagai mufti Kerajaan Indragiri.

Blogspot.com
Kitab (ilustrasi).
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID,  Pada saat berkunjung ke Temasek (Singapura), Syekh Abdurrahman Siddiq bertemu dengan Haji Muhammad Arsyad, saudagar kaya asal Banjar yang bermukim di Indragiri, Kepulauan Riau. Pebisnis Muslim itu lantas memohon kepada sang syekh agar bersedia tinggal di Indragiri. Sebab, perannya dibutuhkan untuk membimbing masyarakat di sana.

Baca Juga

Setelah mempertimbangannya, Syekh Abdurrahman akhirnya hijrah ke Indragiri. Di sana, ia tinggal di sebuah kampung yang bernama Sapat-- sekarang menjadi ibu kota Kecamatan Kuala Indragiri. Di kampung tersebut, awalnya ia mem buka lahan perkebunan dan pertanian serta membuka irigasi untuk pengairan sawah-sawah.

Selama tujuh tahun tinggal di Sapat, Syekh Abdurrahman juga berprofesi sebagai penjual emas sambil mengajar dan membimbing masyarakat. Saat itu, ia pun dikenal dengan nama Tukang Emas Durrahman.

Suatu waktu muncullah perselisihan pendapat antara dua kelompok masyarakat tentang persoalan agama. Karena kedua kelompok tak ada yang mau mengalah dan hampir terjadi pertumpahan darah, akhirnya Syekkh Abdurrahman turun tangan menjadi penengah.

(Baca Juga: Syekh Abdurrahman Siddiq Berdakwah dalam Karya)

 

 

Berbekal ilmu pengetahuannya, Syekh Abdurrahman akhirnya mampu menyelesaikan masalah itu berdasarkan dalil Alquran dan hadits, serta penjelasan para ulama. Sejak itu, orang-orang pun semakin tertarik untuk belajar agama kepadanya.

Rumahnya di Sapat Hilir sampai tidak dimuat lagi dari saking banyaknya murid yang ingin berguru kepadanya. Setelah itu, Syekh Abdurrahman mulai berpikir untuk mencari tempat yang dapat dijadikan sebagai pusat pendidikan dan pengembangan agama Islam.

Setelah itu, barulah Syekh Abdurrahman membuka pengajian. Namanya pun semakin tersebar di segenap pelosok kerajaan negeri Indragiri, bahkan sampai ke pulau Kalimantan, Jawa, Sulawesi, dan Semenanjung Malaya.

Hingga pada suatu hari, datanglah utusan dari kerajaan menemui Syekh Abdurrahman Sidddiq yang menyampaikan undangan agar Syekh Abdurrahman bersedia datang ke Istana Sultan Rengat. Setelah sampai di istana, ia pun disambut dengan penuh suka cita dan penuh persaudaraan oleh Sultan Rengat yang bernama Sultan Mahmud Syah.

Dalam pertemuan itu Syekh Abdurrahman Siddiq diminta oleh Sultan agar bersedia menjadi mufti Kesultanan Indragiri. Awalnya, Syekh Abdurrahman Siddiq menolak tawaran itu, tapi atas dasar pertimbangan yang matang untuk kemaslahatan umat dan agama akhirnya ia setuju diangkat menjadi mufti kerajaan.

 

 

Jauh sebelum itu, sebenarnya Syekh Abdurrahman juga sudah diminta oleh Habib Utsman bin Yahya untuk menggantikannya sebagai mufti di Jakarta.

Begitu juga saat berkunjung ke Semenanjung Tanah Melayu, Syekh Abdurrahman juga ditawari oleh Sultan Johor di Malaysia untuk menjadi mufti di sana. Namun, dengan sangat halus dan bijak, kedua tawaran tersebut ditolak oleh Syekh Abdurrahman. 

Pengangkatan Syekh Abdurrahman Siddiq sebagai mufti Kerajaan Indragiri yang pertama oleh Sultan Mahmud Syah yang bekedudukan di Rengat sejak 1337 Hijriyah. Ia menduduki posisi terhormat ini selama 20 tahun.

Kehadirannya di Indigari tidak hanya membawa perubahan besar dalam bidang dakwah, tetapi juga sosial-ekonomi masyarakat lokal. Sebab, dirinya terus bergiat dalam membuka perkebunan- perkebunan.

Sang syekh memiliki 120 baris atau 4.800 batang kelapa. Sebanyak 70 baris ia wakafkan untuk kepentingan umat. Panen pertama dari kebunnya itu digunakan untuk membangun masjid yang terletak di sebelah rumah.

Selain itu, hasil jerih payahnya juga digunakan untuk membangun madrasah dan tempat tinggal para santri.Anak-anak itu dapat belajar di madrasah tersebut tanpa dipungut biaya.

 

 

Selama menjadi mufti, Syekh Abdurrahman Siddiq memang tidak pernah mengambil atau menggunakan gaji dari jabatannya itu untuk kepentingan pribadi. Gaji tersebut ia bagikan kepada orang-orang yang membutuhkannya. Untuk meme nuhi keperluan rumah tangganya, ia memanfaatkan hasil kebun milik sendiri.

"Kehadirannya di Indigari tidak hanya membawa perubahan besar dalam bidang dakwah, tetapi juga sosial- ekonomi masyarakat.

 

 

 

Syekh Abdurrahman Siddiq tidak hanya berdakwah melalui lisan dan perbuatan, tetapi juga tulisan. Ulama yang lahir pada 1857 M ini telah menulis banyak kitab. Karya- karya tulisnya itu membahas tentang banyak hal keislaman, termasuk akhlak, tasawuf, dan fikih.

Hingga akhir hayatnya, cicit Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari tersebut telah menghasilkan sekurang-kurangnya 18 kitab.Melalui tulisan-tulisan itu, dirinya mendakwahkan ajaran Islam di pelbagai daerah yang disambanginya.

Namun, beberapa kitab karangannya tidak sampai pada masa sekarang. Hal itu disebabkan terjadinya agresi militer Belanda pada 1948.

Sebuan pasukan musuh telah memorak-porandakan pula kompleks pesantren yang diasuhnya di Indragiri, Riau.Salah satu sasaran amuk tentara kolonial itu ialah ruangan tempat penyimpanan kitab-kitab karangannya.

Kendati demikian, banyak juga karyanya kitabnya yang terselamatkan karena disembunyikan di rumah-rumah penduduk sekitar pesantren. Apalagi, sebelum agresi militer tersebut, sebagian besar kitabnya telah tersebar di berbagai daerah, seperti Bangka, Riau atau di Kalimantan Selatan.

 

 

Di samping itu, sejumlah tokoh ulama dan keturunannya juga masih menyimpan dan memelihara kitab karangan Syekh Abdurrahman Siddiq. Di antara kitab-kitabnya yang terselematkan itu adalah Asrarus Shalah, Fath al-`Alim, Risalah Tazkirah li Nafsi wa lil Qashirin Mitsli, dan Risalah Amal Ma'rifah.

Selain itu, ada pula kitab yang menceritakan tentang Hari Kiamat yang ditulis dalam bentuk sastrawi, yaitu Syair Ibaratdan Khabar Kiamat.Ada pula kitab-kitab karyanya yang berjudul Aqaidul Iman, Syajaratul Arsyadiyah, Risalah Takmilah Qaulil Mukhtashar, Mau'izah li Nafsi wa li Amtsali minal Ikhwan, dan masih banyak lagi.

Syekh Abdurrahman telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk penyebaran agama Islam. Hingga akhirnya, ia pun jatuh sakit setelah melakukan melakukan safari dakwah ke Martapura dan Banjarmasin. Sejak itu, kondisi fisiknya terus menurun beberapa hari lamanya.

Dai tersebut berpulang ke rahmatullah pada 10 Maret 1939 M dalam usia sekitar 82 tahun. Jenazahnya dimakamkan di di Kampung Hidayah, Sapat, Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.Makamnya hingga kini masih kerap diziarahi kaum Muslimin.

Syekh Abdurrahman tercatat memiliki sembilan orang istri. Dari istri-istrinya tersebut, ia memiliki 35 orang anak. Keturunannya tersebar di berbagai daerah, seperti Bangka dan Riau. Di antara mereka, ada yang kemudian meneruskan perjuangannya dalam syiar Islam.

(Baca Juga: Syekh Abdurrahman Siddiq Berdakwah dalam Karya)

 
Berita Terpopuler