Jejak Perjuangan KH Noer Alie (II-Habis)

Kisah perjuangannya melawan penjajah begitu legendaris sampai sekarang.

Republika/Uji Sukma Medianti
Menziarahi makam KH Noer Ali, di Pondok Pesantren Attaqwa Putri, Kampung Ujung Harapan, Kelurahan Bahagia, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi. Sabtu (17/4).
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, KH Noer Alie menjadi ketua Laskar Rakyat Bekasi serta komandan Hizbullah Bataliyon III Bekasi dalam upaya  mempertahankan Republik Indonesia yang baru saja lahir.

Baca Juga

Dalam masa revolusi, dia bersahabat dengan panglima besar Jenderal Sudirman serta Bung Tomo. Sebelum pecah Pertempuran 10 November di Surabaya, orator ulung itu berulang kali menyebutkan nama Noer Alie dengan sebutan Kiai Haji.

Padahal, sebagai ulama Betawi (Melayu), jamaknya adalah gelar Guru. Sejak saat itu, Noer Alie pun lebih sering disapa Kiai Haji (KH), yang memang sudah populer di kalangan Jawa.

Beberapa hari setelah pertempuran dahsyat itu, pada 29 November tentara Sekutu mulai memasuki daerah Bekasi Karawang. KH Noer Alie memerintahkan pasukannya untuk mundur teratur.

Ada pula beberapa pendukungnya yang tersisa di Sasak Kapuk yang lantas gugur sebagai syuhada. Posisi Belanda (NICA) semakin kuat berkat dukungan Sekutu.

(Baca Juga: Jejak Perjuangan KH Noer Ali Bagian Pertama)

Pada Juli 1947, agresi militer Belanda dapat memukul mundur ke kuatan militer RI di Jawa Barat. KH Noer Alie lantas menghadap otoritas tentara wak tu itu, Jenderal Urip Sumoharjo (sumber lain menyebut: Jenderal Sudirman) di Yogyakarta guna mendapatkan saran.

Saran itu adalah agar sang kiai tetap melanjutkan perjuangan gerilya di Jawa Barat, meskipun tanpa embel-embel tentara nasional. Dengan strategi ini, harapannya Belanda akan mengira para pejuang yang dipimpin KH Noer Alie sebagai rakyat biasa, sehingga memperbesar peluang kemenangan bagi Indonesia.

Sesampainya di Karawang, KH Noer Alie lantas membentuk sekaligus mengomandoi Markas Pusat Hizbullah-Sabilillah untuk Jakarta Raya. Kisah perjuangannya melawan penjajah begitu legendaris sampai sekarang.

Para tentara Belanda begitu sukar menangkapnya. Sampai-sampai, karena itu pula KH Noer Alie dijuluki Belut Karawang-Bekasi.

 

 

Pada 1949, akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Laskar-laskar rakyat pun mulai membubarkan diri. Sementara itu, KH Noer Alie pun lebih fokus lagi pada dunia pendidikan. 

Di Pekojan, Jakarta, dia membentuk lembaga pendidikan yang bekerja sama dengan Mu`allim Rojiun. Di saat yang sama, pondok pesantrennya di daerah kediamannya, Ujung Malang (Bekasi), juga kembali aktif.

Lebih lanjut, sejak 1953, pesantrennya itu bertransformasi men jadi sebuah yayasan yang kelak bernama Yayasan at-Taqwa. Sampai sekarang, lembaga ini tetap berkiprah.

Namun, pemerintahan Presiden Sukarno perlahan-lahan mulai memberi ruang kepada paham komunisme yang sesungguhnya anti-agama. Inilah yang agaknya membuat KH Noer Alie terjun ke dunia politik praktis dengan mendukung Masyumi. 

Dalam pemilihan umum 1955, partai Islam itu memeroleh suara terbanyak di Bekasi. Satu tahun kemudian, pimpinan pusat Masyumi memintanya untuk duduk sebagai anggota Dewan Konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi baru sebelum akhirnya dibubarkan secara sepihak oleh Bung Karno.

 

Dalam masa ini, KH Noer Alie juga berupaya membangun hubungan kaum ulama serta santri dengan kalangan militer yang antikomunis. Tokoh ini lantas bergabung dalam Badan Kerja Sama Ulama-Militer (BKS-UM) serta menjadi anggota Majelis Ulama di Resimen Infanteri 7/III Purwakarta.

Karena beberapa hal, KH Noer Alie lantas mundur dari dunia politik untuk kembali konsen seutuhnya ke dunia pendidikan agama. Keputusannya ini tentu saja menuai rasa gembira dari para santrinya, baik di kalangan senior maupun awam.

Sejak saat itu, sang kiai mulai memperluas cakupan pendidikan yang diampunya. Pada 1962, misalnya, dia mendirikan sejumlah sekolah setingkat SMP dan SMA di bawah naungan Yayasan atTaqwa. Dua tahun kemudian, berdirilah madrasah yang khusus Muslimah. 

 

 

 

Meskipun mundur dari dunia politik, nama sang kiai tetap terseret dalam pusaran prahara menjelang G30-S. Pada 1963, KH Noer Alie nyaris ditangkap rezim saat itu lantaran dituding mendukung DI/TII.

Bahkan, Pesantren at-Taqwa sempat dikepung sejumlah aparat. KH Noer Alie tidak takut sedikit pun.

"Sekarang kita geledah kampung ini. Kalau terdapat anggota DI, tembak saya. Tapi, kalau enggak dapat, ente yang ana tembak,"kata dia kepada para aparat yang mendatanginya itu. Kontan saja, mereka surut ke belakang.

Di era Orde Baru, KH Noer Alie semakin memusatkan perhatiannya pada nasib pendidikan agama di Indonesia. Pada Maret 1972, dia terlibat dalam pembentukan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat.

Sang kiai pula yang pada akhirnya menjadi ketua umum badan tersebut. Belakangan, barulah terasa ini menjadi strategi untuk merapatkan barisan kaum ulama dan umat Islam Indonesia seluruhnya.

 

 

Persatuan ini tampak betul ketika rezim Presiden Soeharto mulai menjauh dari keberpihakan pada Muslimin. Pada 1980-an, misalnya, mulai muncul larangan jilbab di sekolah-sekolah.

KH Noer Alie pun mengusung fatwa tentang busana Muslimah, yang intinya menolak pelarangan demikian. Kemudian, muncul kasus RUU Perkawinan pada 1973 yang dinilai menyimpang dari ajaran Islam.

Untuk menggalang resistansi atas rencana legislasi itu, KH Noer Alie mengerahkan tidak kurang dari 1.000 ulama dari Pesantren asy-Syafi'iyah, Jatiwaringin.

Mereka diimbaunya bersumpah untuk memperjuangkan jalannya RUU itu agar selaras dengan kaidah Islam. Perjuangan sang kiai juga tampak jelas dalam upaya menentang perjudian yang didukung negara, seperti SDSB. 

(Baca Juga: Jejak Perjuangan KH Noer Ali Bagian Pertama)

 
Berita Terpopuler