Komisi III Nilai Pembahasan RUU Perampasan Aset akan Alot

RUU Perampasan Aset merupakan hal yang perlu segera dibahas dan disahkan.

Jumat , 26 May 2023, 13:02 WIB
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan, DPR telah menerima surat presiden (surpres) yang memerintahkan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana. (ilustrasi).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan, DPR telah menerima surat presiden (surpres) yang memerintahkan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Perampasan Aset Terkait Tindak Pidana. (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan, DPR telah menerima surat presiden (surpres) yang memerintahkan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang perampasan aset terkait tindak pidana. Namun, DPR belum membacakannya dalam rapat paripurna karena lembaga tersebut tengah fokus dalam penyusunan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Terdapat banyak poin yang difokuskan dalam RUU Perampasan Aset. Namun, ia masih enggan mengungkapkannya dan akan dibahas lewat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dan rapat kerja bersama pemerintah.

Baca Juga

"(Pembahasan akan) panjang dan alot. Makanya saya ngomong dulu, karena ini panjang dan alot," ujar Bambang di ruangannya, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (25/5/2023).

Salah satu penyebab alot dan panjangnya pembahasan adalah karena Komisi III harus bisa membedakan aset biasa dengan aset yang berkaitan dengan tindak pidana. Misalnya, aset hasil tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Itu akan banyak diskusi panjang, tapi kan harus dibuktikan ada tindak pidananya. Kenapa tidak pakai (UU) TPPU? itu juga tidak ditanya dulu dibuktikan, baru aliran ke mana saja," ujar Bambang.

Anggota Komisi III DPR Didik Mukrianto menyebut RUU Perampasan Aset merupakan hal yang perlu segera dibahas dan disahkan. Beleid tersebut diharapkan dapat memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana.

Pemerintah sendiri melalui Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirimkan surpres tentang RUU Perampasan Aset pada 4 Mei lalu. Saat ini, draf RUU tersebut akan dibawa ke Badan Musyawarah (Bamus).

"Pemberantasan tindak pidana ekonomi termasuk korupsi, narkoba, perpajakan, tindak pidana di bidang keuangan, dan lainnya tidak sepenuhnya utuh keberhasilannya. Pencegahan dan penindakan saja masih belum menunjukkan efek jera yang signifikan dan memadai," ujar Didik.

Idealnya, perampasan aset hasil tindak pidana bisa menjadi salah satu faktor efek jera bagi pelaku dalam kejahatan ekonomi. Mengingat tidak sedikit, aset hasil tindak pidana tetap dapat dinikmati oleh pelaku meskipun sudah menjalani masa hukuman.

Ia memberi contoh saat aparat penegak hukum membongkar tindak pidana pencucian uang. Dalam praktiknya, pemerintah masih terkendala kurang progresifnya peraturan perundangan-undangan terkait penyitaan aset yang diduga hasil tindak pidana.

"Recovery aset kerugian negara ataupun kerugian sosial-ekonomi dari sejumlah kejahatan ekonomi masih belum optimal dan masih belum bisa membantu pengembalian keuangan negara secara utuh," ujar Didik.

DPR disebut mendukung perampasan aset milik pelaku tindak kejahatan, khususnya bagi pelaku yang sengaja menyembunyikan uang hasil kejahatannya. Apalagi, kejahatan ekonomi selalu berkembang seiring dengan kemajuan informasi dan teknologi.

"Kejahatan yang dilakukan melalui berbagai cara financial engineering dan legal engineering dengan tujuan agar dapat mengelabui aparat penegak hukum, mempersulit proses hukum di pengadilan, dan mempersulit proses penyitaan yang dilakukan secara konvensional," ujar Didik.