Survei Global Buktikan Aksi Boikot Produk Terafiliasi Israel Masif, Indonesia Tiga Besar

Berdasarkan survei, satu dari tiga orang memboikot produk terafiliasi Israel.

Reuters
Boikot produk Israel.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani, Dian Fath Risalah

Baca Juga

Survei yang digelar oleh Trust Barometer seperti dikutip oleh Middle East Eye baru-baru ini mengungkapkan, bahwa satu dari tiga orang mengatakan mereka memboikot produk-produk bermerek terafiliasi Israel. Survei dilakukan terhadap 15 ribu orang di 15 negara, termasuk Prancis, Arab Saudi, Inggris Raya, dan Amerika Serikat (AS).

Merujuk survei tersebut, warga dari negara-negara Teluk dan negara dengan mayoritas penduduk Muslim mendominasi gerakan boikot. Lima negara teratas yang warganya memboikot produk terafiliasi Israel menurut survei, tiga di antaranya adalah negara berpenduduk Muslim, yakni Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Indonesia.

Gerakan Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) pun makin mendapatkan momentumnya di seluruh dunia dengan tujuan menekan Israel atas tindakan pelanggaran hukum internasional oleh mereka terhadap warga Palestina di Gaza. Namun, gerakan BDS juga mendapatkan perlawanan keras di AS dan negara-negara Barat yang mana populasinya menaruh simpati terhadap Israel.

 

Berdasarkan survei, Arab Saudi di urutan teratas dengan angka 71 persen respondennya mengatakan, bahwa mereka memboikot produk terafiliasi Israel. Mayoritas populasi di Saudi tercatat memiliki sikap pro-Palestina.

Sebelumnya pun, polling yang digelar oleh Washington Institute pada Desember 2023 menemukan bahwa, 96 persen warga Saudi meyakini negara-negara Arab harus memutus hubungan diplomatik dengan Israel sebagai respons atas perang di Gaza. Padahal, sebelum perang di Gaza terjadi, AS secara aktif menjadi mediator normalisasi hubungan diplomatik Arab Saudi dan Israel.

 

Di Uni Emirat Arab, sebanyak 57 persen dari total responden memboikot produk terafiliasi Israel. Sementara di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia, survei menyatakan, satu dari dua warganya memboikot merek-merek terafiliasi Israel.

Jumlah responden di negara Arab dan Muslim yang memboikot produk terafiliasi Israel setelah perang di Gaza meletus, lebih tinggi dari angka rata-rata gerakan boikot di seluruh dunia sebesar 37 persen. Aksi boikot ini paling dirasakan oleh perusahaan-perusahaan dari negara Barat.

Partisipasi Generasi Z pada boikot produk Israel mencapai 50 persen. - (Tim Infografis)

Konsumen di kawasan Teluk, telah lama menjadi andalan bagi perusahaan-perusahaan dari negara Barat karena populasi muda mereka relatif memiliki daya beli yang tinggi. Ekonomi mereka yang utamanya dari hasil produksi minyak tak terpengaruh oleh perang seperti negara-negara Arab lain sejak gerakan Arab Spring.

Middle East Eye melaporkan, bagaimana konsumen di Oman, partner kunci negara Barat, ikut memboikot produk-produk dari negara Barat yang terafiliasi AS dan sekutu pendukung Israel. Mereka mengganti minuman seperti Mountain Dew ke Kinsa, merk minuman ringan asal Saudi. Di Pakistan, merek lokal mulai memproduksi barang-barang buatan dalam negeri untuk menggantikan minuman ringan dan kosmetik dari Barat.

Survei Trust Barometer juga menunjukkan peningkatan angka nasionalisme konsumen di negara-negara Teluk. Responden di Saudi dan Uni Emirat Arab contohnya, mengatakan, bahwa mereka kini lebih memilih untuk membeli produk lokal daripada merek Barat. 

CEO McDonald's, Chris Kempczinski pada awal tahun ini juga mengungkapkan, bahwa omzet penjualan mereka melemah di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Malaysia dan Indonesia, dan juga di Timur Tengah.

Pada Oktober 2023, langkah McDonald's yang mengumumkan pemberian makanan gratis untuk tentara IDF sempat memicu amarah aktivis pro-Palestina. Di Pakistan, McDonald's sampai harus menurunkan harga jual produk mereka dan membuat pernyataan bahwa jaringan restoran mereka di Pakistan tidak berhubungan langsung dengan waralaba McDonald's di Israel.

"Dampak perang (Gaza) terhadap waralaba yang terus berlanjut mengecewakan dan tanpa dasar," kata Kempczinski dalam sebuah rapat perusahaaan dengan analis, pada pekan lalu.

 

Karikatur Opini Republika : Boikot Kurma Israel - (Republika/Daan Yahya)

 

Pada Maret, raksasa retail Alshaya Group, yang memiliki hak membuka gerai-gerai Starbucks di Timur Tengah, memutuskan memecat hingga 2.000 staf mereka di kawasan itu dan di Afrika Utara atau empat persen dari total jumlah pekerja mereka. Pemecatan itu sebagai dampak aksi boikot.

Kinerja waralaba minuman Starbucks secara global pun mengalami penurunan selama kuartal I/2024. Laba perusahaan kedai kopi terbesar di dunia tersebut mencapai 772,4 juta dolar AS atau sekitar Rp12,5 triliun atau turun 15 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu (yoy).

Saham Starbucks turun lebih dari 12 persen pada Rabu (1/5/2024). Menghadapi kondisi yang terus memburuk, Starbucks langsung menyusun rencana perubahan yang melibatkan layanan yang lebih cepat dan memperluas jumlah promosi. 

“Biar saya perjelas dari awal, kinerja kami pada kuartal ini mengecewakan,” kata CEO Laxman Narasimhan saat mengomentari perihal laporan keuangan Starbucks, dikutip Kamis (2/5/2024). 

Di AS, penjualan turun lebih dari 3 persen, berbanding terbalik dengan pencapaian di tahun lalu yang tumbuh 12 persen. Hal serupa pun terjadi di China, penjualan turun drastis sebesar 11 persen dan perusahaan menyalahkan persaingan dari “pemain nilai” di negara tersebut. 

Secara total, pendapatan Starbucks secara global turun hampir 2 persen menjadi 8,56 miliar dolar AS, berada di bawah ekspektasi para analis. Starbucks kini memperkirakan pendapatannya akan tumbuh hanya satu digit, penurunan tajam dari perkiraan sebelumnya sebesar 7 persen hingga 10 persen. 

“Kami menghadapi kondisi yang sangat terpuruk, hambatan yang dibahas pada kuartal lalu terus berlanjut di sejumlah pasar utama, kami terus merasakan dampak dari konsumen yang lebih berhati-hati, terutama konsumen kami yang lebih jarang (karena boikot) dan prospek ekonomi yang memburuk telah membebani daya beli konsumen dan dampaknya terasa secara luas di seluruh industri," terangnya.

Adapun, sejumlah perubahan yang akan dilakukan oleh Starbucks adalah dengan menarik dan mendorong pelanggan bertransaksi menggunakan aplikasi Starbucks dengan berbagai promo baru dan akan segera memperbaiki fitur yang tersedia sekarang. Narasimhan mengatakan  meskipun pesanan secara daring melalui ponsel cukup kuat, namun seringkali pelanggan yang menggunakan fitur ini hanya “memasukkan barang ke keranjang mereka dan terkadang memilih untuk tidak menyelesaikan pesanan mereka, dengan alasan waktu tunggu yang lama untuk produk dan ketersediaan.”

Terakhir, Starbucks melihat peluang pada pelayanan malam hari. Sebuah program percontohan untuk melayani pelanggan dari jam 5 sore hingga jam 5 pagi, ketika kafe-kafe biasanya tutup, berhasil melipatgandakan bisnisnya dan membayangkan bisnis senilai 2 miliar dolar AS selama lima tahun ke depan. 

“Seperti yang Anda lihat, ada permintaan yang signifikan di pagi hari dan potensi lebih besar lagi di sore hari, malam hari, dan akhir pekan yang belum kami sadari. Kami juga akan mempercepat mesin eksekusi kami untuk memenuhi hal tersebut," kata dia.

 

 
Berita Terpopuler