Nasab Habib Gaduh di NU, Muhammadiyah Ramai Salafi: Ada Apa dengan Umat?

Polemik nasab habib di NU dan Salafi di Muhammadiyah menguras energi

Republika/Wihdan Hidayat
Ilustrasi umat Islam. Polemik nasab habib di NU dan Salafi di Muhammadiyah menguras energi
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Baru-baru ini, isu salafi di dalam Muhammadiyah mencuat kembali setelah kelompok yang mengklaim diri sebagai salafi mengomentari ceramah Ustadz Adi Hidayat (UAH) soal musik.

Baca Juga

Para pemuka agama salafi gencar mengharamkan musik, tidak sedikit pengikutnya yang membagikan potongan ceramah ustadz salafi yang mengharamkan musik.

UAH sebelum menyampaikan tentang hukum musik dałam Islam, menyampaikan terlebih dahulu bagaimana sikapnya secara pribadi terhadap musik. 

Dalam Muhammadiyah sebenarnya sejak Juni 2021, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof Syafiq A Mughni sudah menyinggung varian Muhammadiyah-Salafi (Musa) agar jangan jadi benalu di internal Muhammadiyah.

Sementara itu, polemik nasab Ba Alawi yang menjadi muara nasab para Habaib di Indonesia munculkan kegaduhan di kalangan Nahdliyin. 

Hal ini setelah kesahihannya digugat tokoh asal Banten. KH Imaduddin Utsman al-Bantani menggugat nasab tersebut dalam riset nya yang berjudul “Menakar Kesahihan Nasab Habib di Indonesia; Sebuah Penelitian Ilmiah.” Dalam penelitiannya tersebut, dia menyanggah Kesahihan nasab habaib di Indonesia sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. 

Dia menulis dalam risetnya tersebut: “Berdasarkan data-data ilmiah yang penulis sebutkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa sangat sukar sekali menurut takaran ilmiah untuk menyebut bahwa Ba Alawi adalah keturunan Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Ali al-Uraidi bin Ja’far as-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah bin Nabi Besar Muhammad SAW.”

Riset ini pun menuai pro kontra di media sosial bahkan sampai di akar rumput, hingga jajaran elite Pengurus Besar Nahdlatul harus angkat bicara.      

Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Miftachul Akhyar turut angkat bicara menyoal polemik nasab habib di Indonesia. Menurut Kiai Miftakhul, isu yang gaduh ini cuma diembuskan segelintir orang. Masalah ini sudah bukan soal dzurriyah Ba'alawi melawan dzurriyah Wali Songo, melainkan arahnya sudah ke jamaah NU.

"Gangguan sudah sudah nyata, bukan dzon lagi, tapi jelas dialamatkan kepada NU dan bertubi-tubi. Hati-hati, itu pola Wahabi," ujar Kiai Miftachul.

 

Ada apa dengan kegaduhan yang menargetkan dua ormas besar, jangkar Islam dan kebangsaan di Indonesia ini? 

Guru Besar Sosiolog Agama, Prof Mohammad Baharun mengatakan, memandang Muhammadiyah itu pergerakan Islam modernis, mottonya Muhammadiyah berkemajuan. 

Maka Muhammadiyah tidak gampang memvonis sesuatu yang baru dan inovatif itu bid'ah seperti yang sekarang jadi tema-tema ceramah kalangan salafi. 

"Oleh karena itu dalam pandangan saya Muhammadiyah memang punya beberapa amaliyah ibadah mirip salafi, seperti tidak ada qunut Subuh dan zikir jahr dan seterusnya. Tetapi secara aqidah berbeda (dengan salafi). Dalam muamalah (hablum minannas) Muhammadiyah sangat luas dan luwes, karena itu tidak mungkin pengaruh Salafi mampu mengubah khittahnya," kata Prof Baharun kepada Republika.co.id, Jumat (31/5/2024).

Prof Baharun mengatakan, soal NU dan isu nasab Ba Alawi ini memang fenomena baru. Tapi usaha untuk mengingkari dan mendegradasi Ba Alawi yang di Nusantara dikenal dengan sebutan habib sempat mengejutkan. 

Namun setelah ada sikap dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), sejumlah pesantren besar dan beberapa Kiai Nahdliyin. Maka orang akhirnya jadi paham bahwa ini perbuatan beberapa oknum warga yang dendam, kemudian mengeksploitasi habib-habib palsu untuk mengingkari nasab Ba Alawi.

Prof Baharun mengatakan, banyak tuduhan yang dikonstruksi dengan fatwa-fatwa dusta merajalela di jagat media sosial. Polemik soal nasab ini masih berlangsung. 

"Menurut teori medsos, kini ada kebenaran baru yang disiarkan berulang-ulang ke berbagai platform medsos, segera mengalahkan kebenaran faktual yang kalah suara dalam polemik," ujar Prof Baharun.

Polemik di dalam ormas besar di Indonesia ini, menurut Prof Baharun, kerja satu kekuatan yang besar logistiknya, mereka gerah melihat soliditas umat. Ditengarai ada penyusupan untuk membuat pembusukan dari dalam tubuh umat. Agar efektif agama dirusak dari dalam ketimbang harus berhadap-hadapan.

"Dalam pandangan saya, ada teori sejarah yang mengatakan bahwa setiap peristiwa itu ada hubungannya dengan peristiwa sebelumnya," ujar Prof Baharun.

Prof Baharun menjelaskan, beberapa dekade terakhir secara faktual soliditas umat ditunjukkan dalam aksi 411 dan 212, yang diberitakan jutaan orang berkumpul. Habib Rizieq Shihab (HRS) yang mengomandoi semula diperkirakan habis pengaruhnya setelah dari pengasingan. Ternyata tetap saja umat yang butuh perubahan berkerumun mendukung.

Maka pihak yang gerah itu akhir secara faktual bisa dirunut. Setelah gagal mendegradasi orangnya, maka pengaruhnya dipreteli seperti yang terjadi di kantong-kantong dukungan Banten, Jawa barat dan DKI Jakarta.

"Menurut saya, NU dan Muhammadiyah sebagai kekuatan sosial umat yang besar telah diobok-obok dengan isu yang tidak produktif itu," ujar Prof Baharun.

Prof Baharun mengingatkan, pihak yang berkepentingan telah menemukan momentumnya, bahkan sebelum Pemilu, diawali dengan isu politik identitas. Kemudian muncullah isu Muhammadiyah versus salafi dan NU versus Ba Alawi. Siapa yang diuntungkan? Lihat saja akhir dari drama fenomena keumatan yang memprihatinkan ini.

Menguras energi

Pakar Sosiologi Agama dari Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Abd Aziz Faiz menilai bahwa polemik salafi dan nasab Ba'alawi di Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) hanya mengalihkan energi Muhammadiyah dan NU.

Padahal ada isu yang lebih penting yang harus menjadi perhatian, yakni kemiskinan, isu 10 juta anak muda pengangguran, pendidikan dan pemberdayaan umat yang lambat. 

Aziz mengatakan, secara umum polemik salafi dan Muhammadiyah sudah berlangsung lama. Keduanya dalam banyak hal memiliki persamaan terutama soal kembali ke Alquran dan hadits.

"Namun, Muhammadiyah memiliki istilah ijtihad dan tajdid yang membuat Muhammadiyah sangat berbeda dengan salafi," kata Aziz kepada Republika.co.id, Jumat (31/5/2024) 

Aziz mengatakan, masalahnya belakangan salafi masuk pelan-pelan melalui masjid-masjid Muhammadiyah dan menguasainya. Dalam konteks-konteks tertentu, salafi mengubah tradisi Muhammadiyah di masjid-masjid milik Muhammadiyah, dari situ polemik salafi dan Muhammadiyah semakin meruncing.

Aziz menambahkan, polemik Ba'alawi di NU belakangan semakin runyam karena perdebatannya mulai tidak produktif. Perdebatan awal tampak ilmiah melalui kajian dan lain sebagainya, belakangan mulai bernuansa emosional dan provokatif.

"Polemik Muhammadiyah dan salafi, kemudian polemik nasab Ba'alawi di NU tampak tidak produktif, sudah terlalu berkepanjangan," ujar Aziz.

Pakar Sosiologi Agama ini mengatakan, isu-isu internal seperti itu sangat tidak kerusial untuk umat. Polemik semacam itu mengalihkan energi NU dan Muhammadiyah dari isu-isu substantif berkaitan dengan kebutuhan umat, seperti soal kemiskinan karena pinjol misalnya, investasi di beberapa daerah yang merugikan masyarakat lokal, pendidikan dan pemberdayaan umat yang tampak melambat.

"Bahkan, Gen Z yang diisukan menganggur hampir 10 jutaan, isu-isu semacam itu yang seharusnya menjadi perhatian dua organisasi ini," jelas Aziz.

Aziz menegaskan, sudah waktunya energi dua organisasi terbesar ini diarahkan ke kebutuhan umat dari sekadar polemik dan konflik yang tidak produktif. Kemudian sambil membenahi internal organisasi masing-masing.

 
Berita Terpopuler