IDF Akhirnya Akui Hamas tak Bisa Dikalahkan dan akan Tetap Ada di Gaza

Netanyahu bubarkan kabinet perang dan dalam tekanan untuk mundur dari jabatannya.

AP/Eyad Baba
Seorang tentara pasukan Hamas sedang berjaga di jalan utama di Khan Younis, selatan Jalur Gaza, Senin (17/10), jelang pertukaran tahanan dengan Israel.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Andri Saubani, Antara, Anadolu

Baca Juga

Juru bicara IDF Daniel Hagari pada Rabu (19/6/2024) mengatakan, bahwa tujuan perang sebelumnya memberantas Hamas saat ini tidak dapat tercapai. Pernyataan Hagari ini menegaskan ketegangan yang saat ini muncul di antara pejabat militer Israel dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang beberapa hari lalu membubarkan kabinet perangnya.

"Urusan menghancurkan Hamas, membuat Hamas menghilang, itu ibarat  melempar pasir ke mata publik," kata Hagari kepada Channel 13 dilansir Times of Israel.

"Hamas adalah sebuah ide, Hamas adalah sebuah partai. (Hamas) berakar di hati masyarakat - siapapun yang berpikir kita bisa menghilangkan Hamas adalah salah," kata Hagari, menambahkan.

Hagari juga memberikan peringatan, jika pemerintah (Israel) tidak menemukan (pemerintahan) alternatif, Hamas akan tetap ada di Jalur Gaza. 

Pernyataan Hagari kepada Channel 13 mengulang kembali apa yang pernah dia katakan pada bulan lalu. Saat itu ia ditanya apakah kembalinya militer Israel ke daerah yang sebelumnya telah dibersihkan dari pejuang Hamas, sebagai akibat dari tidak adanya keputusan dari pemerintahan Netanyahu soal siapa yang akan memerintah Gaza selain Hamas.

"Tidak diragukan bahwa pemerintahan alternatif akan memberikan tekanan kepada Hamas, tapi itu (pemerintahan alternatif) adalah sebuah pertanyaan bagi para pejabat politik," kata Hagari saat itu.

Merespons pernyataan Hagari, kantor pemerintahan Netanyahu menegaskan, bahwa kabinet keamanan mendefinisikan tujuan perang untuk menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas di Gaza. 

“Klaim apapun yang bertentangan dengan tujuan itu adalah sebuah pernyataan yang dikutip lepas dari konteksnya," demikian keterangan resmi pemerintahan Netanyahu.

Mengapa Serangan ke Rafah Mematikan? - (Republika)

 

 

Menteri Pertahanan Israel telah mendesak Netanyahu untuk membuat perencanaan lanjutan terkait pemerintahan di Gaza pascaperang. Pada Mei, Gallant bahkan telah memberikan peringatan bahwa kegagalan mencari pemerintahan alternatif menggantikan Hamas akan membuat capaian militer Israel sia-sia, karena menurutnya, Hamas akan kembali berkonsolidasi dan bisa kembali menguasai Gaza.

Televisi Israel melaporkan bahwa Kepala IDF Herzi Palevi dan Kepala Shin Bet Ronen Bar belakangan juga berselisih dengan Netanyahu mengenai rencana dan strategi perang di Gaza. Sementara, pemimpin Partai Kesatuan Nasional Benny Gantz telah mundur dari kabinet perang setelah Netanyahu menolak untuk memberikan perencanaan pascaperang sesuai dengan tenggat yang diberikannya.

Tanda-tanda friksi antara kalangan militer dan Netanyahu semakin terlihat belakangan ini. Termasuk soal 'taktik jeda' perang IDF yang dikritik oleh Netanyahu, di mana IDF menegaskan taktik itu justru sejalan dengan instruksi Netanyahu yang ingin meningkatkan jumlah bantuan kemanusiaan masuk ke Jalur Gaza.

"Dalam rangka mencapai tujuan (perang) menghancurkan kemampuan Hamas. Saya harus membuat keputusan yang tidak akan selalu bisa diterima oleh pejabat militer," kata Netanyahu di sela rapat kabinet pada Ahad lalu.

Netanyahu bahkan menegaskan, bahwa Israel bukan negara militer, tapi negara yang memiliki kemampuan militer. Putra tertua Netanyahu, Yair, beberapa hari terakhir juga menyalahkan pejabat militer Israel terkait serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, yang dinilainya tidak pernah mau menyatakan bertanggung jawab atas kegagalan mengantisipasi serangan itu. 

Netanyahu pada Senin (17/6/2024) mengumumkan pembubaran Kabinet Perang yang dibentuk pada 11 Oktober 2023. Ada laporan bahwa Netanyahu membubarkan kabinet tersebut sebagai tanggapan terhadap pengunduran diri Gantz. Langkah itu dilakukan setelah pemimpin oposisi Gantz mundur dari pemerintahan darurat pada awal Juni, menyusul ketidaksepakatan mengenai strategi pascaperang di Jalur Gaza.

Anggota awal dari kabinet tersebut termasuk Netanyahu, Gantz, Menteri Pertahanan Yoav Gallant, Ron Dermer, Gadi Eizenkot, dan pemimpin partai Shas, Aryeh Deri. Menurut lembaga penyiaran publik KAN, dilansir Anadolu, setelah Benny Gantz mundur dari kabinet itu, Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben-Gvir telah mengajukan permintaan untuk bergabung dengan Kabinet Perang Israel.

Di dalam negeri, Netanyahu dalam tekanan gelombang demonstrasi besar-besaran yang menuntutnya mundur dari jabatan Perdana Menteri. Di tekanan itu, ia meyakinkan tidak akan ada perang saudara di Israel.

"Perpecahan adalah kelemahan. Persatuan adalah kekuatan," kata Netanyahu dalam konferensi pers, Selasa (18/6/2024), setelah upacara peringatan bagi tentara Israel yang tewas di Jalur Gaza.

Netanyahu mengatakan bahwa tentara Israel terus berjuang di garis depan. Di selatan, berupaya menyingkirkan kelompok pejuang Palestina, Hamas, dan membebaskan semua warga Israel yang disandera.

Sementara di utara yang berbatasan dengan Lebanon, pasukan Israel memerangi gerakan Hizbullah untuk mengembalikan semua penduduknya ke rumah-rumah mereka. Di timur, ujar Netanyahu, Israel berusaha mencegah Iran mengepung dan memperoleh senjata nuklir yang dirancang untuk menghancurkan Israel.

“Tetapi ada satu perang yang tidak bisa dan tidak boleh terjadi—tidak akan ada perang saudara," kata Netanyahu.

Ribuan warga Israel menggelar protes menuntut pemilihan umum lebih awal dan pertukaran sandera dengan Hamas, yang diyakini menyandera lebih dari 120 warga Israel. Kelompok perlawanan Palestina menuntut pengakhiran serangan mematikan Israel di Gaza sebagai imbalan atas pertukaran sandera dengan Tel Aviv.

Mengabaikan resolusi Dewan Keamanan PBB yang menuntut gencatan senjata segera, Israel menghadapi kecaman internasional di tengah serangan brutal yang terus berlanjut di Gaza sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023. Lebih dari 37.350 warga Palestina tewas di Gaza dan lebih dari 85.400 orang lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.

Selama delapan bulan perang berlangsung, sebagian besar wilayah Gaza hancur di tengah blokade akses makanan, air bersih, dan obat-obatan. Israel juga dituduh melakukan genosida di Mahkamah Internasional, yang putusan terbarunya memerintahkan Tel Aviv untuk segera menghentikan operasinya di Kota Rafah.

Kota di Gaza selatan itu sempat digunakan oleh lebih dari 1 juta warga Palestina yang mencari perlindungan dari perang, sebelum kemudian diserang Israel pada 6 Mei lalu.

Karikatur Opini Republika : Boikot Kurma Israel - (Republika/Daan Yahya)

 
Berita Terpopuler