Jangan Beralih ke Vape, Dokter Ungkap Rokok Elektrik tak Bantu Berhenti Merokok

Rokok elektrik tidak penuhi syarat untuk modalitas berhenti merokok.

www.freepik.com
Vape alias rokok elektrik. Rokok elektrik juga menimbulkan ketagihan atau adiksi, sehingga tidak bisa dijadikan modalitas berhenti merokok.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mau berhenti merokok? Sebagian orang yang ingin terbebas dari kecanduan merokok memilih beralih ke rokok elektrik alias vape karena digadang lebih aman dan dapat menjadi transisi untuk berhenti total.

Faktanya ternyata tidak seperti yang sering dipromosikan produsen vape. Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), FISR, FAPSR mengatakan rokok elektrik tidak memenuhi syarat untuk modalitas berhenti merokok, salah satunya tak menimbulkan risiko.

"Sebuah modalitas untuk berhenti merokok itu tidak boleh dipakai kalau dapat menyebabkan risiko baru," kata Prof Agus dalam acara kesehatan yang digelar daring, Selasa (9/1/2024).

Baca Juga

Faktanya, di Indonesia, rokok elektrik terbukti dapat menimbulkan bahaya kesehatan meskipun tidak ada kandungan TAR-nya. Rokok elektrik terbukti meningkatkan risiko berbagai penyakit paru, seperti asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, pneumotoraks atau paru bocor dan kanker paru.

Selain itu, merujuk studi di luar negeri dan Indonesia, rokok elektrik juga menimbulkan ketagihan atau adiksi. Lebih lanjut, alasan rokok elektrik tidak bisa digunakan sebagai modalitas berhenti merokok ialah karena tidak memenuhi syarat untuk dapat membuat seseorang berhenti merokok konvensional.

Fakta di Indonesia menunjukkan adanya dual user atau multipengguna, yakni pengguna rokok konvensional sekaligus elektrik. Agus merujuk studi peneliti dari Universitas Indonesia pada 2019 menyebutkan sebanyak 61,5 persen mahasiswa merupakan dual user.

"Jadi, nomor satu syaratnya tidak terpenuhi, kalau dia (rokok elektrik) dipakai untuk berhenti merokok," kata Prof Agus.

Di sisi lain, rokok elektrik tidak hanya dipakai untuk terapi withdrawal saja. Menurut Prof Agus, di Indonesia, rokok elektrik bukan hanya dipakai untuk terapi withdrawal, tetapi juga digunakan terus-menerus.

Padahal, suatu syarat sebuah nicotine replacement therapy (NRT) atau terapi pengganti nikotin, yakni digunakan hanya untuk terapi withdrawal. Withdrawal ialah gejala putus nikotin akibat berhenti merokok. Selain itu, bukti ilmiah di berbagai jurnal memperlihatkan rokok elektrik tidak terbukti 100 persen dapat membantu berhenti merokok.

"Masih tidak konsisten kalau menurut WHO, mungkin 70 persen tidak berhasil, dari berbagai jurnal, oleh karena itu tidak terbukti efektif," tutur Prof Agus.

Alasan lainnya, tidak ditemukan penurunan dosis penggunaan rokok elektrik pada pengguna. Menurut Agus, dosis justru naik dari semula 3 mg. Sementara syarat NRT untuk berhenti merokok harus ada penurunan dosis misalnya semula 30 mg, lalu diturunkan menjadi 15 mg hingga akhirnya nol.

Bahaya vape. - (Republika)

Selanjutnya, alasan rokok elektrik tidak memenuhi syarat sebagai NRT untuk berhenti merokok, yakni tidak adanya supervisi untuk membantu berhenti merokok. Alhasil, vape digunakan terus-menerus, bahkan bersamaan dengan rokok konvensional.

Terakhir, ada evaluasi terapi berhenti merokok yang dilakukan setelah tiga bulan, yang apabila seseorang berhasil berhenti merokok, maka dia tak lagi menggunakan rokok konvensional maupun elektrik. Tetapi, faktanya sebagian besar orang yang memilih vape untuk berhenti merokok, terus menggunakan rokok elektriknya.

"Mengingat bahaya kesehatan yang ditimbulkan, rokok elektrik seharusnya dilarang atau diatur penggunaanya, terlepas dari potensinya untuk berhenti merokok yang masih diperdebatkan," kata Prof Agus.

 
Berita Terpopuler