Kemerdekaan Hakiki dalam Alquran

Misi suci para Nabi adalah memerdekakan semua umat manusia.

IKADI
Ketua Umum Ikadi KH Dr. Ahmad Kusyairi Suhail
Rep: Andrian Saputra Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: KH.Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, M.A.(Ketua Umum IKADI, Dosen Fakultas Dirasat Islamiyah  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Pimpinan PonPes YAPIDH Bekasi)

Baca Juga

 

Setiap tahun, setiap bulan Agustus, tepatnya tanggal 17 Agustus, Indonesia selalu memperingati hari kemerdekaan. Dan tahun 2023 ini, tiada terasa sudah 78 tahun Indonesia Merdeka. Beragam acara dan kegiatan digelar. Dari mulai lomba balap karung, beragam cabang olahraga dipertandingkan hingga lomba panjat pinang. Ada juga yang menyelenggarakan acara dzikir, do'a dan istighotsah untuk bangsa, juga acara-acara seremonial lainnya. 

Selain yang pasti upacara Detik-detik Proklamasi yang dilaksanakan di seantero Nusantara. Semua itu diselenggarakan konon dalam rangka mensyukuri nikmat kemerdekaan. Tetapi, benarkah kita sudah merdeka?! Jika kemerdekaan dimaknai merdeka dari penjajah, maka bangsa ini memang telah merdeka. Namun, dalam perspektif Al-Qur’an, benarkah bangsa ini merdeka? Lalu apa kemerdekaan hakiki menurut Al-Qur’an? Ayat berikut menyinggung hal ini secara gamblang. 

Allah SWT berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِى كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولًا أَنِ ٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَٱجْتَنِبُوا۟ ٱلطَّٰغُوتَ ۖ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى ٱللَّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ ٱلضَّلَٰلَةُ ۚ فَسِيرُوا۟ فِى ٱلْأَرْضِ فَٱنظُرُوا۟ كَيْفَ كَانَ عَٰقِبَةُ ٱلْمُكَذِّبِينَ

Artinya: "Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut [Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah SWT] itu. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)" (QS An Nahl [16]: 36).

Ayat di atas menjelaskan, bahwa Allah SWT mengutus pada setiap umat seorang Rasul, sejak zaman nabi Nuh AS sampai nabi Muhammad SAW untuk menjalankan misi suci. Misi suci itu adalah memerdekakan semua umat manusia dari penyembahan kepada selain Allah, menuju penyembahan kepada Allah semata. 

Dalam bahasa ayat tersebut, bahwa semua rasul yang diutus oleh Allah SWT menyeru kaumnya, "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut". Hal ini dipertegas oleh banyak ayat dalam Al Qur'an, diantaranya Allah berfirman, "Dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku" (QS Al Anbiyaa' [21]: 25).

Maka, nabi Nuh AS mengatakan kepada kaumnya, "Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya." Sesungguhnya (kalau kamu tidak menyembah Allah), aku takut kamu akan ditimpa azab hari yang besar (kiamat)" (QS Al A'raaf [7]: 59).

Nabi Hud AS yang diutus kepada kaum 'Ad, menyeru kaumnya, 

"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?" (QS Al A'raaf [7]: 65)

Nabi Shalih AS kepada kaumnya, Tsamud, menyeru hal sama. 

"Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya" (QS Al A'raaf [7]: 73).

Hal yang sama juga dilakukan oleh nabi Syu'aib AS kepada kaumnya, penduduk Madyan.

 "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya" (QS Al A'raaf [7]: 85).

Hal ini menunjukkan, bahwa Din (agama) para rasul itu satu dan Wihadatu Risalaati'r Rusul (kesatuan visi dan misi para rasul), yaitu menjadikan umat manusia merdeka dari penyembahan kepada selain Allah SWT dan hanya menyeru untuk menyembah Allah semata.

Karena itu, menurut Ibnu Katsir, setelah penjelasan ini, bagaimana bisa orang-orang musyrik itu mengatakan –seperti dalam ayat sebelumnya -"Jika Allah menghendaki, niscaya Kami tidak akan menyembah sesuatu apapun selain Dia" (QS An Nahl [16]: 35). Sesungguhnya Masyi'ah Syar'iyyah (kehendak Allah yang bersifat syar'i) untuk kufur itu telah ternafikan dengan sendirinya sehingga tidak bisa mereka menisbatkan kemusyrikannya kepada kehendak Allah, karena hal itu bukanlah keinginan-Nya. 

Sebab, Allah Ta'aala telah melarang umat manusia untuk kefur melalui lisan para Rasul-Nya.  Sementara Masyi'ah Kauniyyah (kehendak Allah yang bersifat kauni), yaitu taqdir (ketentuan) Allah atas kekufuran sebagian umat manusia adalah sesuai dengan pilihan mereka sendiri, sehingga hal ini tidak bisa dijadikan hujjah (argumentasi) atas kekufuran mereka. 

Sebab, Allah SWT telah menciptakan api neraka dan penghuninya adalah setan-setan dan orang-orang kafir. Allah sendiri tidak ridha hamba-hamba-Nya menjadi kufur. Maka, hal ini telah menjadi hujjah yang kuat bagi-Nya SWT (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir III/212). 

 

Makna Thaghut

Thaghut secara etimologis berasal dari kata thaghaa yathghaa thughyaan yang berarti melampaui batas dalam maksiat. Lalu secara terminologis, thaghut berarti semua orang yang melampaui batas, dan segala sesuatu yang disembah selain Allah    (Lihat: Mufradaat Alfaazh Al Qur'an, Al Ashfihaani, hal. 520, Dar Al Qalam, Damaskus, cet.I, 1412 H/1992 M).

Menurut Imam Ibnu'l Qayyim –rahimahullah-, makna thaghut adalah seorang hamba melampaui batas, baik dalam hal ma'bud (sesembahan/yang disembah) atau matbu' (yang diikuti) atau muthaa' (yang ditaati). Dan thaghut itu banyak bentuknya, pangkalnya ada lima:

Iblis yang dilaknat oleh Allah.

Orang yang disembah dan ia rela untuk itu.

Orang yang menyeru umat manusia untuk menyembah dirinya.

Orang yang mengklaim/mengaku mengetahui hal yang ghaib.

Orang yang berhukum kepada selain yang diturunkan oleh Allah (Al Ushul Ats Tsalaatsah wa Adillatuha, Muhammad At Tamimi, hal 24-25, Wizaarah Asy Syu'un Al Islamiyah, Saudi Arabia, 1416 H).  

Lafazh ini dengan derivasi (kata jadian)nya disebut 39 kali dalam Al Qur'an. Perhatian Al Qur'an yang begitu besar ini, merupakan warning agar umat manusia waspada terhadap segala penyembahan kepada selain Allah, dan segala perilaku yang melampaui batas.

Kemerdekaan Hakiki dalam Perspektif Al-Qur’an

Memahami misi Rasul di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa kemerdekaan dalam pandangan Islam dan menurut Al-Qur’an bukanlah sekedar merdeka dari penjajah. Melainkan ketika kita hanya menghamba kepada Allah SWT semata.

Makna ini dipertegas oleh Rib'i bin Amir RA, ketika diutus oleh panglima perang kaum muslimin dalam perang Qadisiyah, Sa'ad bin Abi Waqqash RA. Dihadapan Rustum, panglima perang bangsa Persia, Rib'i bin Amir menyampaikan misi luhurnya, "Kami datang untuk memerdekan umat manusia dari penyembahan dari sesama manusia menuju penyembahan kepada Rabb manusia, Allah SWT. Untuk memerdekakan manusia dari kesempitan dunia menuju keluasan dunia dan untuk memerdekakan manusia dari kezhaliman beragam agama menuju keadilan Islam" (Al Bidaayah wa'n Nihaayah, Ibnu Katsir IV/43).

Al Qur'an mendokumentasikan, bahwa dalam sejarah peradaban umat manusia telah terjadi penyelewengan penyembahan kepada selain Allah. Di antara mereka ada yang menyembah matahari dan bulan sebagaimana firman Allah, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. janganlah sembah matahari maupun bulan, tapi sembahlah Allah yang menciptakannya, jika Ialah yang kamu hendak sembah" (QS Fushshilat [41]: 37).

Di antara mereka ada yang menyembah malaikat seperti dalam firman Allah, "Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?" (QS Ali Imran [3]: 80).

Ada juga, manusia yang menyembah para nabi. Allah berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: "Hai Isa putera Maryam, Adakah kamu mengatakan kepada manusia: "Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?". Isa menjawab: "Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). jika aku pernah mengatakan Maka tentulah Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib" (QS Al Maaidah [5]: 116).

Al Qur'an juga menyinggung manusia yang menyembah hawa nafsu, "Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?" (QS Al Furqaan [25]: 43). Juga lihat QS Al Jaatsiyah [45]: 23. Dan bentuk-bentuk thaghut yang lain masih banyak.

Dalam bahasa ayat di atas, manusia yang terjajah dan belum merdeka adalah mereka yang berada dalam kesesatan. Sementara manusia yang merdeka sejati adalah mereka yang mendapat hidayah (petunjuk) Allah, yang hanya menghamba kepada Allah SWT semata, "Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya". Begitulah, hidup adalah pilihan diantara dua hal; hidayah (petunjuk) atau dhalalah (kesesatan), Al Khair (kebaikan) atau Asy Syarr (keburukan), iman atau kufur, Al Haq (kebenaran) atau Al Baathil (kebatilan), taqwa atau fujur, dan akhirnya di akhirat nanti manusia dihadapkan pada dua pilihan tempat; surga atau neraka. Setiap pilihan memiliki konsekuensi dan balasan masing-masing.

Maka, penting merenungkan keberakhiran manusia dan kaum terjajah, yang durhaka kepada para rasul, mendustakan kebenaran dan menentangnya seperti kaum 'Ad dan Tsamud, yang telah dibinasakan oleh Allah SWT disebabkan dosa-dosa mereka, "Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)".

Melalui peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia ini, kita diingatkan untuk terus  berjuang menjadikan diri kita, keluarga kita, masyarakat dan bangsa untuk menjadi manusia dan bangsa merdeka yang hakiki agar bahagia dunia dan akhirat dalam rengkuhan ridha Ilahi.

 
Berita Terpopuler