Kartosoewirjo, Darul Islam Indonesia: Sebuah Etnografi Milenarianisme (Tulisan Bagian I)

Apa sih Darul Islam dan siapa sih Kartosuwirjo dalam sejarah Indonesia?

dok. Fadli Zon Library
Kartosuwiryo saat makan terakhir sebelum dieksekusi.
Red: Muhammad Subarkah

 

Baca Juga

Oleh: DR Al Chaidar Abdurrahman Puteh, Pakar Antropologi dan Pengamat Terorisme

Penelitian yang kami lakukan tentang Darul Islam (DI)  adalah merupakan studi etnografis yang berlangsung cukup lama (antara tahun 1990 hingga sekarang, 2023) tentang kelompok gerakan politik Islam yang telah lama muncul dalam sejarah negara Indonesia.

Para pendiri DI sebenarnya adalah tokoh-tokoh gerakan yang telah tertempa sebagai kaum pergerakan nasionalis Islam yang sangat resilien di Indonesia hingga saat ini. Mereka adalah para pejuang yang melawan kolonialisme bangsa asing (Belanda) dan ikut serta dalam merumuskan Sumpah Pemuda.

Namun, mereka menerima berbagai risiko politik hingga dieksekusi, risiko sosial dieksklusi secara sepihak, dan mendapatkan perlakuan diskriminatif, mengalami peminggiran ekonomi yang akut dan menyengsarakan. Sebagai kaum pergerakan, mereka masih mempertahankan idealisme lama dengan mengubah medan perang menjadi ‘play ground’ yang penuh risiko. 

Gerakan Darul Islam, semenjak kekalahan definitifnya tahun 1962, mengalami turning point yang drastis di Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Aceh, hingga ke wilayah-wilayah lain yang selama ini tidak dinyana sebagai daerah basis pergerakan tersebut, seperti: Madura, Sumbawa, Flores, Tual, Menado, Labuhan Batu, Bukittinggi, Jambi, Riau, Palembang, dan juga Ternate. Kendatipun demikian, “sovereignty needs more than ‘bare life’; it needs an-audience as well.[1]

Studi ini memakai pendekatan historical anthropology, di mana dalam melihat masyarakat yang menyejarah dengan tradisi historicism yang kuat dalam keseharian komunitas ini. Penulis menerapkan metode multisited ethnography untuk mengumpulkan data di lapangan di berbagai tempat (Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Bandung, Banda Aceh, Labuhanbatu, Lhokseumawe, Langsa, Medan, Padang, Bukittinggi, Brebes, Yogyakarta, Balikpapan, Surabaya, Malang, Cirebon, Makassar, Banjarmasin, Padalarang, Semarang, Lampung, Singkil, Subulussalam, Tapak Tuan, Meulaboh, Nagan Raya, Geudong, Sigli, dll).

Juga terkadang terpaksa menggunakan metode penelusuran arsip di berbagai pusat arsip dunia: Nationaal Archief (Den Haag), Perpustakaan Nasional (Jakarta), Universiteit Bibliotheek Leiden (Leiden), dan juga ANRI (Jakarta). Itu pun masih belum cukup juga dalam upaya melayani kaum tekstual dan skriptural yang terkadang harus dilayani melalui berbagai kunjungan (seperti kunjungan ke pusat arsip Persis dan Muhammadiyah, Bandung, dan Yogyakarta.

Lewat penelusuran arsip yang terserak di berbagai lokasi tersebut, penulis menyusun serpihan-serpihan sejarah untuk memahami mengapa komunitas Darul Islam membangun keyakinan, bahwa secara moral Darul Islam (DI) adalah perjuangan fisik yang tidak cacat. 

 

Foot Note:

[1] Danilyn Rutherford. Laughing at-Leviathan. Chicago: University of Chicago Press, 2012.

Baca ke halaman berikutnya...

Tradisi tektual ini menjadi hal penting untuk melihat budaya kaum pergerakan “gelap”, klandestin. 

Konstruksi tekstual menjadi sangat penting untuk digambarkan agar kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih holistik dalam studi etnografi. Menurut Ortner, “cultural construction of agency” adalah cara orang-orang membentuk dan mengekspresikan kemampuan mereka untuk bertindak dalam konteks budaya dan sosial tertentu.

Ortner berpendapat, bahwa agensi tidak hanya ditentukan oleh struktur kekuasaan, tetapi juga oleh proyek-proyek yang diusung oleh aktor-aktor sosial. Proyek-proyek ini mencerminkan nilai-nilai, keinginan, dan harapan yang dibentuk oleh budaya. Ortner menggunakan contoh pendakian Gunung Himalaya untuk menunjukkan bagaimana agensi dibangun secara kultural melalui praktik-praktik yang melibatkan risiko, tantangan, dan kematian.

Ortner mengembangkan teori agensi, yang memandang orang-orang sebagai makhluk yang berpikir dan berperasaan, yang hidupnya dipengaruhi oleh sejarah dan kontingensi yang membatasi praktik-praktik dominasi dan strategi-strategi agensi. Manusia merasa bahwa dia mewujudkan tujuan ini dengan konsepnya tentang permainan serius.

Permainan serius adalah aktivitas yang berpola, bermaksud, dan sebagian ditentukan oleh budaya, tetapi dikejar oleh individu dengan cara yang bermakna. Budaya mungkin menetapkan apa yang harus dilakukan oleh seseorang (misalnya, mendapatkan pendidikan), tetapi subjek yang bertindak memutuskan bagaimana melakukannya (mendapatkan gelar universitas atau bepergian secara luas).

Seorang agen yang bermain permainan serius bukanlah agen bebas, tetapi seseorang yang mengambil skrip budaya dan kemudian memutuskan bagaimana memainkannya. Agen ini bukanlah korban pasif atau pemberontak radikal, tetapi aktor yang kreatif dan kritis.

Ortner juga menunjukkan bagaimana teori sosial harus membangun dan melampaui teori praktik klasik untuk memahami dunia kontemporer. Beberapa esainya merefleksikan secara eksplisit tentang masalah teoretis, seperti hubungan antara agensi dan kekuasaan, kualitas problematik dari studi etnografi tentang perlawanan, dan kemungkinan menghasilkan antropologi subjektivitas. “Textual construction of agency” adalah istilah yang digunakan oleh Ortner untuk menggambarkan bagaimana agensi dibentuk dan ditampilkan melalui bahasa dan teks

 

 
Baca ke halaman berikutnya...

 

Ortner berpendapat bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan agensi, tetapi juga membentuknya, karena bahasa menawarkan cara-cara tertentu untuk mengekspresikan tindakan, niat, dan tanggung jawab. Teks, sebagai produk bahasa, juga membangun dan menunjukkan agensi, karena teks menawarkan narasi dan interpretasi tentang dunia dan diri sendiri.

Ortner menggunakan contoh teks-teks yang ditulis oleh pendaki Gunung Himalaya untuk menunjukkan, bagaimana mereka membangun agensi mereka sendiri dan orang lain melalui cara mereka menceritakan pengalaman mereka.

Ortner menyimpulkan bahwa konstruksi tekstual agensi tidak terlepas dari konstruksi kultural agensi, karena teks-teks tersebut juga dipengaruhi oleh konteks budaya dan sosial yang lebih luas. Ortner juga menekankan bahwa konstruksi tekstual agensi tidak meniadakan agensi aktual, tetapi lebih tepatnya merupakan salah satu cara untuk mengakses dan memahami agensi.

Konstruksi tekstual agensi adalah cara kita membuat dan menunjukkan kemampuan kita untuk bertindak melalui kata-kata dan tulisan. Kata-kata dan tulisan tidak hanya melaporkan apa yang kita lakukan, tetapi juga membentuk apa yang kita lakukan, karena kata-kata dan tulisan memberi makna dan tujuan pada tindakan kita. Kata-kata dan tulisan juga menunjukkan bagaimana kita melihat diri kita sendiri dan orang lain sebagai agen, karena kata-kata dan tulisan memberi penilaian dan penjelasan tentang tindakan kita.

Ortner memberi contoh bagaimana pendaki Gunung Himalaya menulis tentang pengalaman mereka dan bagaimana mereka membuat dan menunjukkan agensi mereka sendiri dan orang lain melalui tulisan mereka. Konstruksi tekstual agensi tidak terpisah dari konstruksi kultural agensi, karena kata-kata dan tulisan juga dipengaruhi oleh budaya dan masyarakat yang lebih besar. Konstruksi tekstual agensi juga tidak menghapus agensi sebenarnya, tetapi hanya salah satu cara untuk mengenal dan memahami agensi. 

Baca ke halaman berikutnya...

 

Siapa Kartosuwiryo Sang Pendiri DI

Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo (1907-1962) adalah tokoh utama dalam sejarah politik paling dramatis di tahun-tahun 1950-an, di mana perjuangan membangun sistem kekuasaan Islam yang asli ini tidak mendapatkan pengaruh-pengaruh transnasional dari Timur Tengah, tanah sumber asli agama ini. 

Muncul dari keluarga priyayi liberal di Cepu, SM Kartosoewirjo hijrah ke Jawa Barat, tanah Pajajaran tempat revolusi Islam disemai sejak tahun 1930-an. Ia adalah tokoh yang matang secara politik dan spiritual: menjadi murid HOS Tjokroaminoto, ikut dalam beragam organisasi pergerakan Sjarikat Islam, Jong Islamieten Bond, menggagas Sumpah Pemuda, fungsionaris Partai Sjarikat Islam Indonesia (PSII), Masjoemi, MIAI, dan membentuk Laskar Hisbullah dan Laskar Sabilillah.

Kartosuwiryo juga melucuti tentara Jepang di Jawa Barat, memerangi Belanda di Jawa Barat atas permintaan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo, dan tetap berharap Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tahun 1945 untuk menjadi negara Islam. Kaum Darul Islam tidak menerima Republik Indonesia berunding Belanda dalam Perundingan Renville. 

Namun karena sesuatu hal yang tidak pernah ada settlement dalam politik integrasi di Indonesia, Republik Indonesia Serikat justru menyerang pos-pos pertahanan Darul Islam di wilayah-wilayah pegunungan di Antralina, justru pada saat mereka sedang terjepit oleh pasukan Belanda yang dibantu oleh Negara Federal Pasundan, negara boneka bentukan Belanda. Sementara itu Perjanjian Roem-Rojen, Perjanjian Linggarjati, dan Perjanjian Meja Bundar kemudian semakin meneguhkan posisi de facto dan de jure Republik Indonesia Soekarno.

Hal ini ditambah dengan kesepakatan antara Stikker dan Hatta, antara negara suksesor dan kolonial pendahulunya bekerja sama untuk menghadapi pasukan-pasukan Darul Islam di berbagai tempat: Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, dan Aceh, dengan jumlah korban jiwa yang hampir menyamai casualties selama Perang Kolonial

Setelah tertangkap dan dieksekusinya SM Kartosoewirjo di tahun 1962, maka audiens (khalayak) politik Indonesia mulai menoleh ke Soekarno sebagai solidarity maker yang cerdik dan charming. Khalayak Indonesia kemudian lebih memilih Soekarno ketimbang SM Kartosoewirjo dengan Darul Islam-nya.

Imbasnya, klaim-klaim politik pun kemudian mengalir dari Soekarno terhadap berbagai daerah yang dianggap “memberontak” di bawah panji Darul Islam. Para dissident ini banyak yang kehilangan nyawa, dan keluarganya mengalami stigmatisasi selama Orde Lama hingga Orde Baru. Padahal yang mereka lakukan adalah memerangi Belanda yang masih tega melakukan aksi polisionil di wilayah asing (foreign land) yang bukan lagi haknya untuk menancapkan kuku-kuku kekuasaan kolonialnya. 

 

 
Berita Terpopuler