Al Chaidar: Darul Islam Pertahankan Idealisme Medan Perang Jadi Play Ground Penuh Risiko

Darul Islam Merasa Pejuang Kolonial dan Perumus Sumpah Pemudayang disingkirkan

istimewa
Pendukung Gerakan Darul Islam bersama benderanya.
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Dosen antropologi Universitas Malikussaleh sekaligus pengamat terorisme UI, Al Chaidar Abdurrahman Puteh, menjalani sidang disertasinya, Rabu (26/7/2023). Dalam penelitiannya, ia membahas perihal eksistensi Darul Islam di Indonesia.

Al Chaidar mengambil judul penelitian Darul Islam di Indonesia: Sebuah Etnografi tentang Milenarianisme. Penelitian ini disebut mengambil studi etnografis yang berlangsung cukup lama, antara tahun 1990 hingga 2023), tentang kelompok gerakan politik Islam yang telah lama muncul dalam sejarah negara Indonesia.

Ia menyebut para pendirinya adalah tokoh-tokoh gerakan, yang telah tertempa sebagai kaum pergerakan nasionalis Islam yang sangat resilien di Indonesia hingga saat ini.

"Mereka adalah para pejuang yang melawan kolonialisme bangsa asing (Belanda) dan ikut serta dalam merumuskan Sumpah Pemuda. Namun, mereka menerima berbagai risiko politik hingga dieksekusi, risiko sosial dieksklusi secara sepihak dan mendapatkan perlakuan diskriminatif, mengalami peminggiran ekonomi yang akut dan menyengsarakan," ujar dia dalam paparan penelitiannya di Auditorium Juwono Sudarsono, Kampus FISIP Universitas Indonesia, Depok, Rabu (26/7/2023).

Ia juga menyebut sebagai kaum pergerakan, kelompok ini dinilai masih mempertahankan idealisme lama dengan mengubah medan perang menjadi ‘play ground’ yang penuh risiko.

Gerakan Darul Islam, semenjak kekalahan definitifnya pada 1962, disebut mengalami titik balik yang drastis di beberapa wilayah. Contohnya, Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Aceh, hingga ke wilayah-wilayah lain yang selama ini tidak disangka sebagai daerah basis pergerakan tersebut, seperti Madura, Sumbawa, Flores, Tual, Menado, Labuhan Batu,
Bukittinggi, Jambi, Riau, Palembang dan Ternate.

Baca Juga

 

 

DI dan NII gerakan Islam organik asli Indonesia

Dari hasil penelitiannya itu, Al Chaidar menyimpulkan bagi kalangan Darul Islam di Indonesia, perjuangan mereka tidak sia-sia meskipun mengalami kekalahan definitif pada 1962, karena diserang oleh Republik Indonesia. Mereka merasa bahwa mereka telah berjuang untuk menegakkan syariah Allah di bumi Indonesia dan membela hak-hak umat Islam.

"Mereka juga merasa bahwa mereka telah menepati perjanjian mereka kepada Allah sebagai bagian dari darul ahdi dan mereka berusaha mencari refuge (tempat hijrah) di luar Indonesia yang berkenan memberikan suaka politik," lanjut dia.

Bagi mereka, Republik Indonesia adalah musuh yang harus dilawan karena tidak menerapkan hukum syariah dan mengancam eksistensi umat Islam. Mereka melihat Republik Indonesia sebagai Leviathan yang menakutkan dan zalim.

Orang-orang Darul Islam selama ini disebut telah membangun keyakinan agama, politik dan kesejarahan di tengah-tengah radikalisasi gerakan-gerakan Islam politik transnasional.Hal ini begitu kuat mempengaruhi banyak kalangan muslim fundamentalis, intoleran dan juga kalangan radikal, untuk mengadopsi pola-pola perjuangan yang bersifat teroristik.

Pandangan ini, lanjut Al Chaidar, kemudian ditolak oleh kalangan NII yang asli. Sementara faksi-faksi NII yang palsu sudah diidentifikasi sebagai ‘musuh eksternal’ yang tidak mewakili mereka sama sekali.

"Darul Islam atau NII adalah gerakan Islam organik yang asli Indonesia yang bukan berasal dari gerakan-gerakan transnasional lainnya dari luar Indonesia. Kalangan Darul Islam melakukan agensi kekuasaan atau agensi resistensi (agency of power) untuk merebut klaim historiografis bahwa NII bukanlah negara baru; merupakan kelanjutan dari Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945," ucap dia.

Dalam konteks Darul Islam atau NII, agency of power dapat dilihat dari cara mereka membaca sejarah RI di masa lalu yang dicoba pertahankan oleh orang-orang Darul Islam di Jawa Barat dan melaporkannya secara berkali ke Yogyakarta sebagai pusat Republik.

Mereka tidak sudi menerima tuduhan sebagai pemberontak yang merupakan bentuk dominasi negara terhadap mereka. Mereka melawan dominasi ini dengan mengklaim bahwa mereka adalah pejuang Islam yang berjuang untuk mewujudkan negara Islam di Indonesia.

"Mereka juga melakukan berbagai aksi seperti pembentukan jaringan rahasia, dan propaganda ideologis untuk menantang otoritas negara dan menyebarkan visi mereka tentang Islam. Dengan demikian, agency of power Darul Islam atau NII menunjukkan bahwa mereka bukanlah korban pasif dari dominasi negara, melainkan subjek aktif yang berusaha mengubah kondisi sosial sesuai dengan kepentingan dan niat mereka," kata Al Chaidar.  
 


 
Berita Terpopuler