Pengamat: Dulu Anak Muda Berharap pada PSI

Sikap PSI terhadap politik dinasti dinilai inkonsisten.

Tangkapan layar di Twitter Giring Ganesha
Anak bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep bertemu Ketum PSI Giring Ganesha dengan memakai kaos PSI.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Fauziah Mursid, Dessy Suciati Saputri

Baca Juga

Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, merespons sorotan publik terhadap sikap inkonsisten Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terkait politik dinasti yang disorot usai mendukung Kaesang Pangarep maju di Pemilihan Wali Kota Depok (Pilwakot). Sebelumnya, PSI begitu keras dan tegas melawan politik dinasti karena menurut mereka merusak sendi-sendi demokrasi.

Namun kini, partai yang mendeklarasikan dirinya sebagai partai anak muda itu justru mendukung Kaesang untuk mengikuti jejak sang ayah Presiden Joko Widodo, kakaknya Gibran Rakabuming Raka hingga kakak iparnya Bobby Nasution.

"Ya itulah PSI, dari dulu begitu dulu mengusung konsep anak muda, sekarang banyak ditinggalkan anak muda, sekarang ingin mengajukan Kaesang. Banyak yang tidak konsisten," ujar Ujang dalam keterangannya, Kamis (15/6/2923).

Ujang mengatakan, saat awal didirikan, banyak anak muda berharap PSI memberi semangat baru dan konsep segar di dunia perpolitikan Indonesia. Namun demikian, PSI saat ini dinilai tidak berbeda halnya dengan partai lain.

"Dulu anak muda berharap PSI tapi kecewa anak mudanya sekarang ditinggalkan. Apalagi soal politik dinasti, ya itulah salah satu kesalahan dari PSI adalah, banyak yang paradoksnya, banyak yang anomali, banyak yang tidak konsisten dalam konteks kebijakan dan pernyataan partainya itu," ujarnya.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR) ini melanjutkan, politik dinasti yang sebelumnya ditentang keras PSI, justru didukung saat melibatkan keluarga Presiden Jokowi.

"Politik dinasti ditolak habis-habisan, dikritik habis-habisan tapi di saat yang sama PSI mengusung mendukung, menumbuhkan dan mengembangkan politik dinasti dengan mendukung Kaesang," katanya.

Padahal, lanjut Ujang, sudah sangat jelas jika majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai Wali Kota Solo, Bobby Nasution di Wali Kota Medan bagian dari politik dinasti. Kendati demikian, Ujang mengakui tidak aturan khusus atau larangan terkait politik dinasti.

Hanya kata dia, politik dinasti membuat demokrasi menjadi tidak sehat. Khususnya jika calon yang maju tidak memiliki kapasitas dan kemampuan serta rekam jejak yang mumpuni.

"Memang tidak ada aturannya politik dinasti itu, tapi kalau yang diusung dan didukung masih mentah, tidak berkualitas, tidak punya pengalaman dalam pemerintahan tata negara dan sebagainya, disitu letak kekurangan dari politik di Indonesia itu," ujar dia.

Lebih lanjut, kata Ujang, pemimpin yang diusung semestinya memiliki kapasitas dan kapabilitas serta rekam jejak yang jelas.

"Yang hebat, yang bagus, yang berprestasi dan track record-nya jelas, baru politik dinasti boleh mendapatkan haknya tetapi sekarang ini kan politik dinasti kan tumbuh berkembang dan besar di Indonesia tanpa dibarengi oleh kualitas, itu yang menjadi persoalan," ujarnya.

Sementara itu, pengamat Ppolitik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai, PSI memang sejak awal tidak memiliki jati diri dan pro penguasa. Karena itu, jika sebelumnya PSI menentang keras politik dinasti maka saat ini berbeda arah selama itu dilakukan oleh penguasa dalam hal ini Presiden Jokowi.

"Apapun yang dilakukan penguasa pasti dibela PSI. Wajar kalau kemudian PSI usung kaesang maju di Depok meski sebelumnya PSI nolak keras politik kekeluargaan (politik dinasti). Partai kita itu selalu begitu. Hari ini merah besok bisa biru," kata Adi.

Karena itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini tidak heran dengan sikap PSI hari ini yang begitu ambisi mendukung Kaesang terjun ke politik.

"Tak ada identitas dalam politik kita. Yang ada soal kekuasaan, jadi jangan meyakini 100 persen perilaku politisi di negara ini. Semua cepat berubah sesuai kepentingan kekuasaan masing-masing," ujarnya.

Juru Bicara PSI Sigit Widodo dalam cicitannya di akun Twitter-nya @sigitwid menyinggung tentang politik dinasti jika Kaesang juga terjun ke politik. Sigit mengatakan, langkah Kaesang jika maju ke politik bukan bagian dari politik dinasti tetapi bagian demokrasi.

"Kaesang tidak ditunjuk langsung oleh ayahnya untuk menjadi pejabat negara atau menempati posisi strategis dalam pemerintahan Indonesia. Warga Depok sendiri yang akan menentukan apakah Kaesang bisa menjadi wali kota atau tidak. Ini demokrasi," ujarnya.

Sekretaris Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI) sekaligus Wakil Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Raja Juli Antoni menemui Jokowi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (15/6/2023).

Dalam pertemuannya itu, ia mengaku melaporkan terkait pertemuannya dengan Kaesang Pangarep, anak bungsu Presiden Jokowi yang digadang-gadang menjadi calon wali kota Depok.

"Saya lapor ke pak Presiden, kemarin bertemu dengan calon Depok pertama Mas Kaesang," kata dia di Kompleks Istana Kepresidenan.

Menurutnya, Presiden pun merestui dan mendoakan putranya tersebut untuk maju menjadi calon wali kota Depok. "(Respons Presiden) Ya Pak Jokowi ketawa aja. Senyum dia. Ya Pak Jokowi sudah jawab kemarin kan. Tugas orang tua mendoakan dan merestui," ujarnya.

Presiden Jokowi sudah memberikan tanggapannya terkait putranya, Kaesang Pangarep, yang siap mencalokan diri sebagai Wali Kota Depok. Jokowi mengatakan, sebagai orang tua tentunya merestui dan mendoakan rencana Kaesang tersebut.

“Tugasnya orang tua itu merestui dan mendoakan,” kata Jokowi di gedung BPKP, Rabu (14/6/2023).

Jokowi menyampaikan, saat ini Kaesang sudah memiliki keluarga sendiri. Sehingga, Kaesang memiliki tanggung jawab atas pilihannya tersebut.

“Saya itu terbiasa ya, terbiasa kalau yang namanya anak sudah berkeluarga, saya punya anak sudah berkeluarga, itu tanggung jawabnya ada sudah di mereka,” ujar Jokowi.

 

Beda jalur karier anak SBY dan Jokowi - (Republika/berbagai sumber)

 
Berita Terpopuler