Saking Melaratnya, Sukarno Kecil tak Mampu Beli Petasan di Hari Lebaran

Kisah sedih ini dialami Sukarno saat berusia enam tahun.

.
Rep: Ani Nursalikah Red: Partner

Sukarno muda. Saking Melaratnya, Sukarno Kecil tak Mampu Beli Petasan di Hari Lebaran. Foto: Dok. Republika

MAGENTA -- Saking melaratnya kehidupan Sukarno kecil, ia tak mampu membeli petasan yang harganya cuma satu sen. Padahal, bagi anak-anak seusianya menyundut petasan di hari Lebaran menjadi ritual menyenangkan yang wajib dilakukan.

"Semua anak-anak melakukannya sekarang dan di waktu itu pun mereka melakukannya. Semua, kecuali aku. Di hari Lebaran lebih setengah abad yang lalu aku berbaring seorang diri dalam kamar tidurku yang kecil yang hanya cukup untuk satu tempat tidur," tulis Cindy Adams dalam bukunya yang berjudul Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Kisah sedih ini dialami Sukarno saat berusia enam tahun. Sukarno baru pindah ke Mojokerto.

.

.

Sukarno dan kakak perempuannya yang bernama Sukarmini tinggal di daerah yang melarat dan keadaan tetangga-tetangganya tidak berbeda dengan keadaan keluarganya. Saat itu, Sukarno dan keluarga hampir tidak bisa makan satu kali dalam sehari. Jika makan, itupun hanya ubi kayu, jagung tumbuk dengan makanan lain.

Orang tua Sukarno tidak mampu membeli beras murah yang biasa dibeli oleh para petani. Ia hanya bisa membeli padi. Setiap pagi ibunya mengambil lesung dan menumbuk, menumbuk, tak henti-hentinya menumbuk butiran-butiran berkulit itu sampai menjadi beras seperti yang dijual orang di pasar.

"Gaji bapak 25 franc sebulan. Dikurangi sewa rumah kami di Jalan Pahlawan 88, neraca menjadi 15 franc dan dengan perbandingan kurs pemerintah 3,60 franc untuk satu dolar dapatlah dikira-kira betapa rendahnya tingkat penghidupan keluarga kami," cerita Sukarno kepada Cindy Adam dalam bukunya yang diterjemahkan oleh Abdul Bar Salim itu.

BACA JUGA: Tak Punya Uang, Sukarno Lelang Peci Kesayangan untuk Bayar Zakat Fitrah


Sukarno Hidup Prihatin

Penari Kontemporer Elma Merdiana menari menggunakan Foto Ir. Sukarno saat aksi peringatan hari lahir Sukarno di Bandung, Jawa Barat, Kamis (6/6/2019). Foto: Antara/Novrian Arbi

Dengan gaji bapaknya yang kecil, tiap hari Sukarno harus hidup prihatin meskipun itu Hari Raya Idul Fitri. Karena tidak mampu membeli petasan menjelang Lebaran, Sukarno tidak berani ke luar kamar.

Sukarno hanya mengintip ke luar arah ke langit melalui tiga buah lubang udara yang kecil kecil pada dinding bambu. Lubang udara itu besarnya kira-kira sebesar batu bata.

Kepada Cindy Adam, Sukarno mengisahkan, saat itu di sekeliling kamarnya terdengar bunyi petasan berletusan disela oleh sorak-sorai kawan-kawannya karena kegirangan. Sukarno bertanya mengapa semua kawan-kawannya dengan jalan bagaimanapun dapat membeli petasan yang harganya satu sen itu dan ia tidak bisa membeli.

.

.

BACA JUGA: Sukarno tak Puasa Ramadhan Saat Bacakan Teks Proklamasi, Apa Sebab?

"Aku teringat ketika aku menangis kepada ibu dan mengumpat, Dari tahun ke tahun aku selalu berharap-harap, tapi tak sekalipun aku bisa melepaskan mercon. Aku sungguh menyesali diriku sendiri," kata Sukarno.

Kemudian, di malam harinya, tulis Cindy, datang seorang tamu menemui bapaknya Sukarno. Dia memegang bungkusan kecil di tangannya.

"Ini," katanya sambil mengulurkan bingkisan itu kepada Sukarno. Sukarno sangat gemetar karena terharu mendapat hadiah itu sehingga hampir tidak sanggup membukanya.

"Isinya petasan. Tak ada harta, lukisan ataupun istana di dunia ini yang dapat memberikan kegembiraan kepadaku seperti pemberian itu. Dan kejadian ini tak dapat kulupakan untuk selama-lamanya," tutur Sukarno kepada Cindy Adam dalam bukunya yang diterbitkan pada 6 Juni 1966. (MHD)

BACA JUGA:

Sukarno Murka Berita Kelaparan, Terbitkan Buku Masak Mustika Rasa

On This Day: 26 Maret 1968, Soeharto Terima Mandat Jadi Presiden Gantikan Sukarno

Pernah Ditanya Soal Perbedaan Waktu Hari Raya, Ini Jawaban Buya Hamka

On This Day: 23 Maret 1946, Bandung Lautan Api, Menolak Tunduk pada Penjajah

 

 
Berita Terpopuler