Argumentasi Pemerintah Bahwa Jokowi tak Salah Terbitkan Perppu Cipta Kerja

Mahfud mempersilakan perdebatkan isi, prosedur penerbitan Perppu sudah sesuai aturan.

Prayogi/Republika
Menko Polhukam Mahfud MD Mahfud MD. Mahfud menegaskan, penerbitan Perppu Cipta Kerja oleh Presiden Jokowi telah melalui prosedur. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Dian Fath Risalah, Ronggo Astungkoro, Antara

Baca Juga

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang baru diterbitkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) langsung menuai pro dan kontra. Penyebabnya, alih-alih mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperbaiki UU Cipta Kerja yang telah diputuskan inkonstitusional bersyarat, Jokowi menerbitkan perppu bukan merevisi UU Cipta Kerja bersama DPR.

Merespons polemik Perppu Cipta Kerja, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD hari ini mempersilakan masyarakat mengkritik isi Perppu Cipta Kerja. Namun, Mahfud menegaskan, prosedur pembuatan produk hukum tersebut sudah sesuai dengan aturan.

"Nah kalau isinya yang mau dipersoalkan silakan, tetapi kalau prosedur sudah selesai," kata Mahfud di lingkungan Istana Kepresidenan Jakarta pada Selasa (3/1/2022).

Diketahui, Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja, menggantikan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ditandatangani Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022. Pertimbangan dikeluarkannya perppu tersebut adalah karena kebutuhan mendesak sesuai dengan putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009.

"Ada istilah hak subjektif Presiden, itu di dalam tata hukum kita, bahwa alasan kegentingan itu adalah hak subjektif Presiden. Tidak ada yang membantah sekali satu pun ahli hukum tata negara bahwa itu membuat perppu itu alasan kegentingan itu berdasar penilaian Presiden saja," ungkap Mahfud.

Mahfud menyebut banyak pihak yang tidak paham putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai judicial review Undang-undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Gini, banyak yang pertama tidak paham putusan MK itu seperti apa, yang kedua belum baca isinya sudah berkomentar, sehingga saya persilakan saja kalau mau terus didiskusikan, diskusikan saja, tetapi pemerintah menyatakan putusan MK itu mengatakan Undang-Undang Ciptaker itu dinyatakan inkonstitusional bersyarat," ucap Mahfud.

Pada 25 Juni 2021, MK memutuskan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkonstitusional) secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai "tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putusan diucapkan".

"Maksud bersyaratnya apa? Berlaku dulu, tetapi selama 2 tahun diperbaiki. Diperbaiki berdasar apa? Berdasar hukum acara di mana di situ harus ada cantelan bahwa omnibus law itu masuk di dalam tata hukum kita," ungkap Mahfud.

Demi menyediakan cantelan untuk Omnibus Law, menurut Mahfud, pemerintah telah menerbitkan UU Nomor 13 tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada 16 Juni 2022. Dalam UU itu,diatur soal pembentukan peraturan perundang-undangan menggunakan metode omnibus.

"Maka kita perbaiki undang-undang tentang pembentukan peraturan perundang-undangan dimana di situ disebut bahwa omnibus law itu bagian dari proses pembentukan undang-undang. Nah sesudah itu diselesaikan, undang-undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) itu sudah diubah dijadikan undang-undang dan diuji ke MK sudah sah, lalu perppu dibuat berdasar itu sedangkan materinya (UU Ciptaker) tidak pernah dibatalkan oleh MK," tutur Mahfud.

Dengan sudah terbitnya peraturan mengenai pembentukan undang-undang menggunakan metode omnibus maka pemerintah, kata Mahfud, tinggal menerbitkan perppu. "Kita perbaiki dengan perppu, karena perbaikan dengan perppu sama derajatnya dengan perbaikan melalui undang-undang. Jadi undang-undang itu undang-undang/perppu begitu di dalam tata hukum kita," ujar Mahfud.

Menurut Mahfud, bila ada yang mempermasalahkan isi Perppu Ciptaker dapat melakukan dua langkah. "Tinggal nanti akan ada political review di DPR masa sidang berikutnya lalu judicial review-nya kalau ada yang mempersoalkan ke MK, kan gitu saja," tambah Mahfud.

 

Namun, sejumlah pihak mengkritik terbitnya Perppu Ciptaker tersebut, salah satunya Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang menilai penerbitan perppu mengkhianati Konstitusi UUD 1945 dan tidak memenuhi syarat diterbitkannya perppu. LBH Jakarta juga menyatakan sikap mengecam penerbitan Perppu Cipta Kerja.

Menurut LBH Jakarta, penerbitan Perppu Cipta Kerja dinilai tidak dilandasi dengan keadaan genting yang memaksa dalam menjalankan kehidupan bernegara serta merupakan bentuk pengkhianatan terhadap Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Direktur LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan, mantan ketua Mahkamah Agung (MA), Bagir Manan pernah menyampaikan, keadaan genting yang terdapat dalam UUD 1945 adalah suatu keadaan krisis apabila terdapat suatu gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak dan kemendesakan. Kemendesakan ini dapat terjadi apabila berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.

"Penerbitan Perppu seharusnya tidak menjadi alat kekuasaan Presiden semata, walaupun merupakan kekuasaan absolut yang dibenarkan konstitusi (constitutional dictatorship) penerbitan Perppu harus menjadi wewenang bersyarat bukan wewenang yang secara hukum umum melekat pada Presiden," tegasnya.

Oleh karenanya, LBH Jakarta mendesak Presiden RI Joko Widodo untuk menarik kembali PERPPU No. 2 Tahun 2022. Kepada DPR RI, LBH Jakarta meminta untuk tidak menyetujui penerbitan PERPPU No. 2 Tahun 2022.

"Presiden RI dan DPR RI untuk menghentikan segala bentuk pembangkangan terhadap Konstitusi. Presiden RI dan DPR RI untuk menghentikan praktik buruk legislasi dan mengembalikan semua proses pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan prinsip-prinsip Konstitusi, Negara Hukum yang demokratis, dan Hak Asasi Manusia," tegasnya lagi.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal, mengungkapkan, pihaknya akan melakukan aksi apabila Perppu Cipta Kerja tetap dipaksa untuk berjalan dengan isi yang seperti saat ini. Tapi, Partai Buruh akan melihat perkembangan sikap pemerintah dan sikap DPR terlebih dahulu.

"Kita lihat perkembangan sikap pemerintah, sikap DPR yang akan menerima Perppu itu bagaimana. Baru Partai Buruh bersama serikat buruh, serikat petani, dan kelas pekerja lainnya akan menggelar aksi kalau isi Perppu tidak sesuai," ujar Said dikutip dari siaran Youtube, Selasa (3/1/2023).

Aksi turun ke jalan adalah langkah ketiga apabila dua langkah sebelumnya tidak menemukan titik terang. Di mana, langkah pertama yang akan Partai Buruh lakukan adalah melakukan langkah diplomasi. Said mengatakan, pihaknya percaya Presiden Jokowi akan mendengarkan aspirasi yang mereka berikan.

"Partai Buruh percaya dengan Presiden Jokowi tentu akan mendengar. Karena yang membuat ini kan bukan Pak Jokowi, (tapi) tim Kementerian Perekonomian. Anda bisa bilang, tapi Pak Presiden harus tanggung jawab. Iya, tapi jangan 'dibohongi' dong. Kan berbahaya kalau kaya begitu," kata Said.

Lewat jalur diplomasi itu, Partai Buruh akan menyampaikan sembilan poin yang menjadi perhatian mereka. Poin-poin itu terkait dengan upah minimum, pegawai alih daya, karyawan kontrak, pesangon, pemutusan hubungan kerja (PHK), tenaga kerja asing (TKA), pengaturan jam kerja, pengaturan cuti, dan terkait dengan sanksi pidana yang diatur dalam peraturan tersebut.

"Kalau diplomasi ini tidak (berhasil), jalur hukum akan kita tempuh. Tapi kita konsultasi dulu dengan ahli tata negara Partai Buruh. Boleh tidak Perppu di-judicial review. Kan Perppu harus dibawa ke DPR dulu, DPR putuskan, baru dapat nomor UU. Itu mau kita lihat perkembagannya," jelas dia.

Menempuh jalur hukum adalah langkah kedua yang akan Partai Buruh lakukan. Tetapi, Said percaya, presiden akan mendengarkan suara Partai Buruh yang mewakili kelas pekerja. Karena itu, dia amat berharap langkah diplomasi dapat berjalan dengan baik ke depan.

"Judicial review kalau sudah dipastikan nomor undang-undangnya setelah dibawa ke DPR. Tapi kita lihat perkembangannya. Mudah-mudahan diplomasi jalan," terang dia.

 

UU Cipta Kerja masih butuh aturan turunan - (Republika)

 
Berita Terpopuler