Jika Perppu Cipta Kerja tak Ditolak DPR, MK Beri Lampu Hijau untuk Digugat

Jika Perppu Cipta Kerja disetujui DPR, UU itu bisa digugat kembali ke MK.

Mahkamah Konstitusi, ilustrasi
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Dian Fath Risalah, Nawir Arsyad Akbar, Amri Amrullah

Baca Juga

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Hal itu diumumkan yang Menko Perekonomian didampingi Menko Polhukam dan Wamenkumham, pada akhir pekan lalu.

Pengamat komunikasi politik, Muhammad Jamiluddin Ritonga menilai, keberadaan Perppu Cipta Kerja telah mengabaikan keberadaan DPR RI. Karenanya, ia berpendapat, DPR RI sudah seharusnya menolak Perppu Cipta Kerja tersebut.

"DPR RI seharusnya menolak Perppu tersebut. Presiden terkesan sudah tidak menganggap DPR RI," kata Jamiluddin Ritonga, Selasa (3/1/2022).

Padahal, ia mengingatkan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sudah meminta untuk merevisi UU Cipta Kerja dalam kurun waktu dua tahun. Revisi UU Cipta Kerja tidak bisa dilakukan pemerintah sendiri dan memang harus melalui pembahasan bersama DPR RI sesuai putusan MK.

Untuk itu, Jamiluddin menekankan, Perppu tersebut telah menabrak tatanan hukum yang berlaku. Ia melihat, konstitusi terkesan ditabrak begitu saja, sehingga DPR RI harusnya marah atas tindakan pemerintah tersebut.

Menurut Jamiluddin, DPR idealnya menolak Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tersebut. DPR harus berani memposisikan setara dengan presiden. Sebab, dalam konstitusi kedudukan DPR memang setara dengan presiden.

DPR RI, lanjut Jamiluddin, tidak boleh hanya menjadi lembaga stempel pemerintah. Menurut Jamiluddin, DPR RI harus terdepan mewujudkan fungsinya, khususnya fungsi legislasi. Hanya dengan begitu, DPR menjadi terhormat di mata rakyat Indonesia.

"DPR harus kuat, sehingga rakyat bangga atas wakil-wakilnya yang duduk di DPR," ujar Jamiluddin.

Senada, Direktur PSHK UII, Allan Fatchan Gani Wardhana juga berharap DPR menolak Perppu Cipta Kerja. Sesuai perintah putusan MK pada 2021, UU Cipta Kerja harus diperbaiki terutama proses pembuatannya yang harus melibatkan publik lewat revisi di DPR.

 

"DPR harus menolak Perppu Ciptaker karena Perpu tersebut berasal dari pertimbangan subjektif Presiden. Meskipun saya pun ragu apakah DPR mau menolak karena parlemen sudah dikuasai partai pemerintah," kata Allan, Selasa.

Allan menambahkan, cara lain untuk membatalkan Perppu Ciptaker adalah mengujinya ke Mahkamah Konstitusi. Langkah hukum tersebut bisa dilakukan setelah Perppu dikeluarkan.

 

 

 

Lebih lanjut ia menjelaskan, Perppu bisa diuji ke MK untuk menilai apakah kegentingan memaksanya sesuai dgn putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 yang menetapkan tiga kategori kegentingan yang memaksa. Karena, menurutnya Perppu ini adalah bentuk pelecehan terhadap Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

"Perintah putusan tersebut kan UU Cipta Kerja harus diperbaiki terutama proses penyusunannya yang harus ada partisipasi publik yang bermakna. Tapi pemerintah ambil jalan pintas, dengan menggunakan dalih kegentingan yang memaksa untuk meminggirkan partisipasi publik," tuturnya.

Direktur LBH Jakarta Citra Referandum mengatakan, mantan Ketua MA Bagir Manan menyampaikan keadaan genting yang terdapat dalam UUD 1945 adalah suatu keadaan krisis apabila terdapat suatu gangguan yang menimbulkan kegentingan dan bersifat mendadak dan kemendesakan. Kemendesakan ini dapat terjadi apabila berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera tanpa menunggu permusyawaratan terlebih dahulu.

"Penerbitan Perppu seharusnya tidak menjadi alat kekuasaan Presiden semata, walaupun merupakan kekuasaan absolut yang dibenarkan konstitusi (constitutional dictatorship) penerbitan Perppu harus menjadi wewenang bersyarat bukan wewenang yang secara hukum umum melekat pada Presiden," tegasnya.

 

 

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja baru akan diserahkan secara resmi oleh pemerintah ke DPR seusai masa reses. Sehingga, saat ini pihaknya belum dapat mempelajari isi di dalam Perppu tersebut.

"Jadi Perppu tentang Ciptaker yang sudah dikeluarkan oleh presiden itu kita belum mempelajari, karena memang baru disampaikan pada saat masa reses," ujar Dasco di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (3/1/2022).

"Kita baru akan aktif masa sidang pada tanggal 10 Januari dan tentunya DPR RI akan mempelajari isu Perppu tersebut," sambungnya.

DPR secara resmi juga belum bisa berkomentar lebih lanjut terkait substansi yang diatur dalam Perppu Cipta Kerja. Karena sekali lagi, pihaknya belum secara resmi menerima perppu pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tersebut.

"Karena kan kita harus baca itu menjadi satu kesatuan, tidak boleh sepotong-sepotong supaya tidak ada multitafsir," ujar Dasco.

Kendati demikian, ia memastikan bahwa DPR akan mempelajari Perppu tersebut, termasuk ihwal urgensi penerbitannya. Namun saat ini, DPR belum bisa menyatakan setuju atau tidak soal Perppu Cipta Kerja tersebut.

"Kita akan pelajari, karena itu memang sesuai mekanisme itu ada kewenangan pemerintah mengeluarkan perppu, ada kewenangan DPR untuk membuat UU, maupun revisi UU. Sehingga kita akan pelajari dulu isinya, dan nanti pada saatnya kita akan sampaikan," ujar Dasco.

Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) DPR Saleh Partaonan Daulay mendengar kabar, terbitnya Perppu tersebut untuk menggugurkan putusan MK terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Hal tersebut harus dijelaskan terlebih dahulu oleh pemerintah.

"Bagaimana kalau nanti setelah berubah jadi UU, lalu di-judical review lagi ke MK, lalu MK mengambil keputusan yang sama? Kalau ini, mungkin para ahli hukum dan tata negara yang bisa menganalisis dan berkomentar. Masyarakat tentu tidak bisa membaca secara detail persoalan hukum seperti ini," ujar Saleh lewat keterangannya, Selasa.

Menurutnya, Perppu Cipta Kerja harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPR sebelum diterapkan. Karenanya, perlu ada kajian terlebih dahulu dari sembilan fraksi yang ada di parlemen setelah secara resmi diterima pihaknya.

"Pada akhirnya, DPR secara kelembagaan akan menyatakan pendapat menerima atau menolak. Jika menerima, berarti berlaku, jika menolak berarti tidak berlaku," ujar Saleh.

"Pada posisi ini, DPR tidak berhak menambah dan mengurangi substansi dan isi perppu tersebut. Fraksi PAN akan membahas dan mempelajari ini secara baik agar menghasilkan keputusan terbaik pula," sambung anggota Komisi IX DPR itu.

Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan Perppu Cipta Kerja masih memungkinkan untuk dibawa dan diuji kembali ke MK. Hal ini terkait banyaknya penolakan terhadap Perpu ini setelah sebelumnya MK menyebut UU Cipta Kerja cacat formil dan harus diperbaiki.

"Perpu atau UU potensial untuk dimohonkan pengujian konstitusionalitas dan menjadi perkara di MK," kata Fajar kepada wartawan, Senin (2/1/2023).

Oleh karena itu, lanjut Fajar, MK hanya dapat dan akan menyampaikan pendapat hukum melalui putusan. MK pun tidak dapat berkomentar lebih jauh karena terkait kode etik MK.

"Sekiranya benar Perppu atau UU dimaksud dimohonkan pengujian, dan menjadi perkara di MK," imbuhnya.

 

UU Cipta Kerja masih butuh aturan turunan - (Republika)

 
Berita Terpopuler