Arab Saudi Dituduh Menjegal Dialog Iklim

Arab Saudi yang kaya minyak bumi diduga menyabotase dialog mengatasi perubahan iklim

AP Photo/Hassan Ammar
Fasilitas minyak Aramco di Jubeil, 600 kilometer dari Riyadh, Arab Saudi. Foto diambil 3 Mei 2009. Arab Saudi yang kaya minyak bumi diduga menyabotase dialog untuk mengatasi perubahan iklim.
Rep: Lintar Satria Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, GLASGOW -- Menteri Energi Arab Saudi Pangeran Abdulaziz bin Salman al Saud membantah tuduhan negara produsen minyak terbesar di dunia itu menyabotase negosiasi upaya mengatasi perubahan iklim. Ia mengatakan tuduhan tersebut palsu.

"Apa yang kalain dengan itu tuduhan palsu dan kecurangan dan kebohongan," kata Pangeran Abdulaziz dalam Konferensi Iklim PBB atau COP26 di Glasgow, Skotlandia, Kamis (12/11) kemarin.

Ia merespons jurnalis yang memintanya mengomentari klaim bahwa negosiator Arab Saudi berusaha menghalangi langkah yang dapat mengancam permintaan minyak. "Kami telah bekerja dengan baik," kata Pangeran Abdulaziz bersama kepala COP26 dan pejabat tinggi lainnya.

Negosiator dari 200 negara lebih akan mencari konsensus langkah selanjutnya dalam upaya memotong emisi bahan bakar fosil dunia dan usaha lain dalam mengatasi perubahan iklim. Partisipasi Arab Saudi dalam diskusi mengenai perubahan iklim terlihat janggal.

Kerajaan yang menjadi kaya dan berkuasa karena minyak itu terlibat dalam negosiasi yang isu utamanya mengurangi konsumsi minyak dan bahan bakar fosil lainnya. Arab Saudi sudah berjanji untuk memotong emisi. Pemimpin-pemimpinnya sudah menegaskan akan terus menjual dan memompa minyak sepanjang masih ada permintaan.

Tim Arab Saudi di Glasgow mengajukan berbagai proposal mulai dari keluar dari negosiasi pada pukul 18.00 waktu setempat. Padahal negosiasi biasanya berakhir dini hari.

Para negosiator iklim veteran menuduh hal itu sebagai usaha rumit mengadu domba faksi-faksi negara. Tujuannya adalah menghalangi kesepakatan yang dapat mengancam produksi batu bara, gas, dan minyak.

Pakar think-tank iklim dari Eropa E3g, Jennifer Tollman, mengatakan Arab Saudi seakan berkata 'mari tidak perlu bekerja hingga larut malam dan terima upaya ini tidak akan menjadi ambisi' ketika pembahasan memotong polusi bahan bakar fosil yang merusak iklim. "(Dan apabila) negara lain setuju dengan Arab Saudi, mereka bisa menyalahkan Arab Saudi," kata Tollman.

Mantan presiden Irlandia dan kepala kelompok politisi senior dalam perubahan iklim Mary Robinson mengatakan Rusia dan Arab Saudi 'mendorong keras' untuk menghalangi setiap kesepakatan akhir dalam upaya memotong produksi batu bara atau mengurangi subsidi pemerintah pada bahan bakar fosil.

Sudah lama Arab Saudi dianggap pembocor pembicaraan perubahan iklim. Sejauh ini Saudi adalah satu-satunya negara yang dipilih negosiator untuk berbicara secara privat, dan pengamat, berbicara di depan publik.

Rusia dan Australia masuk kategori yang sama dengan Arab Saudi dalam pembicaraan itu. Masa depan dua negara itu juga bergantung pada batu bara, gas alam dan minyak. Mereka bekerja dalam kesepakatan iklim Glasgow agar hal itu tidak terancam.

Baca Juga

Meski Arab Saudi berusaha mendiversifikasi ekonominya, hingga kini minyak masih menyumbang lebih dari setengah pemasukannya. Kerajaan dan keluarga kerajaan dapat tetap berkuasa dengan stabil. Setengah dari pekerja Arab Saudi masih bekerja di sektor publik, sebagian besar gaji mereka dibayar dari uang minyak.

Selain itu ada China yang bergantung pada batu bara sehingga menjadi negara penghasil polusi terbesar di dunia. Mereka berpendapat dapat beralih ke sumber energi yang lebih besar secepat yang diinginkan Barat walau Amerika Serikat dan Cina berjanji mempercepat upaya memotong emisi mereka.

Inti dari pembicaraan iklim adalah PBB dan ilmuwan mengatakan dunia memiliki waktu kurang dari satu dekade untuk memotong emisi dan pertanian dan bahan bakar fosil setengah dari saat ini jika ingin menghindari skenario bencana yang disebabkan pemanasan global. Negara-negara kepulauan yang dapat hilang ketika permukaan air laut naik akibat pemanasan global menjadi pihak yang paling keras dalam kesepakatan di Glasgow.

Advokat iklim menuduh AS dan Uni Eropa tidak memenuhi janji mereka pada negara-negara kepulauan tersebut. AS dan Uni Eropa biasanya menunggu hingga hari terakhir dalam pembicaraan perubahan iklim untuk mengambil sikap yang tegas dalam perdebatan. AS merupakan penghasil polusi dan produsen minyak dan gas dunia. Negeri Paman Sam banyak dikritik di Glasgow.

Kelompok Climate Action Network mencela pemerintahan Presiden Joe Biden dengan memberikan penghargaan 'Fossil of the Day' pada Biden menjelang pertemuan Glasgow pekan lalu. Sebutan itu disematkan sebab AS gagal memotong produksi batu bara dan minyak negaranya.

Direktur eksekutif kelompok lingkungan Greenpeace Jennifer Morgan mengatakan pemerintah-pemerintah di dunia harus 'mengisolasi delegasi Arab Saudi' apabila mereka ingin konferensi iklim berjalan sukses. Arab Saudi ikut bergabung dengan pemerintah-pemerintah lain berjanji netral karbon pada tiga dekade yang akan datang.

Sebelum COP26, Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman mengikrarkan negaranya akan nol karbon pada 2060. Namun selama bertahun-tahun pemimpin-pemimpin Arab Saudi juga berjanji akan terus memompa minyak sampai permintaan dunia tidak ada lagi. Hal ini menyulitkan dunia beralih dari bahan bakar fosil.

"Telanjang dan sinis," kata peneliti senior E3G Alden Meyer menanggapi peran Arab Saudi di negosiasi perubahan iklim.

 
Berita Terpopuler