Di Bawah Taliban, Nasib Bioskop di Afghanistan Terlunta

Nasib bioskop legendaris di Afghanistan di ujung tanduk karena diabaikan Taliban

AP Photo/Bernat Armangue
Bendera ikonik Taliban dilukis di dinding di luar kompleks kedutaan Amerika di Kabul, Afghanistan, Sabtu, 11 September 2021. Nasib bioskop legendaris di Afghanistan di ujung tanduk karena diabaikan Taliban.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL -- Papan penanda bioskop yang bersinar terang atau marquee bergaya 1960-an di Bioskop Ariana, masih kokoh berdiri di pusat kota Kabul. Selama beberapa dekade, bioskop bersejarah tersebut telah menghibur warga Afghanistan sekaligus menjadi saksi perang, harapan, dan perubahan budaya.

Sekarang poster-poster film Bollywood dan film aksi Amerika yang dahulu menghiasi papan penanda tersebut telah dicopot. Selain itu, gerbang bioskop ditutup dan Ariana berhenti beroperasi sejak Taliban kembali menguasai Afghanistan.

Bioskop Ariana kini masih menunggu nasib. Kepemimpinan Taliban  belum memutuskan apakah mereka akan mengizinkan pemutaran film di bioskop Afghanistan.

Hampir 20 karyawan bioskop, yang semuanya berjenis kelamin laki-laki, masih muncul di tempat kerja. Mereka tetap mengisi daftar hadir dengan harapan dapat menerima gaji. Bioskop Ariana merupakan salah satu dari empat bioskop di ibu kota yang dimiliki oleh pemerintah kota Kabul. Dengan demikian pegawai Bioskop Ariana merupakan pegawai pemerintah dan digaji oleh negara.

Para karyawan Bioskop Ariana menghabiskan waktu selama berjam-jam untuk nongkrong di loket tiket yang telah ditinggalkan. Mereka juga tampak berjalan-jalan di koridor bioskop. Deretan kursi merah yang biasanya ramai dengan penonton kini berada dalam kegelapan yang sunyi.

Direktur bioskop Ariana, Asita Ferdous, tidak diizinkan masuk bioskop. Taliban memerintahkan pegawai pemerintah perempuan untuk tidak kembali ke tempat kerja sehingga mereka tidak bergaul dengan laki-laki. Taliban memerintahkan karyawan perempuan untuk tinggal di rumah sampai batas waktu yang ditentukan.

Ferdous yang berusia 26 tahun adalah bagian dari generasi muda Afghanistan pasca-2001 yang bertekad untuk mengukir ruang lebih besar bagi hak-hak perempuan. Kembalinya Taliban telah menghancurkan harapan kaum perempuan Afghanistan.

Baca Juga

Selama tinggal di rumah, Ferdous lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menggambar dan membuat sketsa. Selain direktur bioskop, dia juga seorang pelukis dan pematung. “Saya menghabiskan waktu untuk membuat sketsa dan menggambar. Saya tidak bisa melakukan pameran lagi," ujar Ferdous.

Ketika menguasai Afghanistan pada periode 1996-2001, Taliban memberlakukan interpretasi radikal terhadap hukum Islam. Mereka melarang perempuan bekerja atau pergi ke sekolah. Mereka juga memaksa laki-laki untuk menumbuhkan janggut. Pada periode tersebut, Taliban melarang musik dan seni lainnya termasuk film dan bioskop.

Ketika Taliban kembali berkuasa, mereka berkomitmen untuk melakukan perubahan. Namun hingga saat ini perubahan tersebut masih belum nampak. Taliban tidak mengizinkan perempuan untuk bekerja. Selain itu, mereka melarang anak perempuan usia untuk kembali ke sekolah tingkat menengah. Taliban juga memberlakukan pemisahan kelas antara siswa laki-laki dan siswa perempuan di perguruan tinggi.

Bagi Bioskop Ariana, situasi ini adalah babak lain dalam sejarah enam dekade yang penuh gejolak. Ariana dibuka pada 1963. Arsitektur bangunannya yang ramping mencerminkan semangat modernisasi yang dibawa oleh monarki yang berkuasa saat itu ke negara yang sangat tradisional.

Seorang penduduk Kabul, Ziba Niazai, mengingat kembali momen saat dia pergi ke Bioskop Ariana. Niazai mengatakan dia pergi ke Ariana pada akhir 1980-an selama pemerintahan Presiden Najibullah yang didukung Soviet. Ketika itu, ada lebih dari 30 bioskop di seluruh negeri.

Bagi Niazai, bioskop adalah pintu masuk ke dunia yang berbeda. Niazai bercerita dia berasal dari sebuah desa di wilayah pegunungan. Ketika sudah menikah, suami Niazai membawanya pindah ke Kabul

Suami Niazai bekerja di Kementerian Keuangan, sedangkan Niazai adalah seorang ibu rumah tangga. Niazai menuturkan usai pulang kerja suaminya kerap membawanya ke Bioskop Ariana untuk menonton film Bollywood.

“Kami tidak berhijab saat itu. Banyak pasangan pergi ke bioskop dan bahkan tidak ada bagian terpisah. Anda bisa duduk di mana pun Anda mau," kata Niazai yang sekarang berusia akhir 50-an.

Pada saat itu, perang berkecamuk di Afghanistan ketika pemerintah Najibullah memerangi koalisi panglima perang dan militan Islam yang didukung Amerika. Mujahidin menggulingkan Najibullah pada 1992. Kemudian mereka saling menyerang dalam memperebutkan kekuasaan yang menghancurkan Kabul. Mereka membunuh ribuan orang yang terperangkap dalam baku tembak.

Ketika itu, Bioskop Ariana rusak berat karena terkena bom dan baku tembak. Bioskop Ariana terbengkalai dalam reruntuhan selama bertahun-tahun. Ketika Taliban mengusir mujahidin dan mengambil alih Kabul pada 1996, semua bioskop yang bertahan di sekitar Kabul ditutup.

Kebangkitan Bioskop Ariana terjadi setelah penggulingan Taliban dalam invasi pimpinan AS pada 2001. Pemerintah Prancis membantu membangun kembali bioskop pada 2004. Bantuan internasional bernilai miliaran dolar mengalir deras untuk membentuk kembali Afghanistan selama 20 tahun ke depan. Ketika Taliban digulingkan, bioskop mulai meledak.

Penanggung jawab tiket, Abdul Malik Wahidi, mengatakan film India selalu menjadi daya tarik terbesar di Bioskop Ariana, termasuk film aksi, terutama yang menampilkan Jean-Claude Van Damme. Ketika industri film domestik Afghanistan dihidupkan kembali, Ariana memutar beberapa film Afghanistan yang diproduksi setiap tahun.

Ariana memiliki tiga pertunjukan dalam sehari. Film terakhir diputar pada sore hari, dengan harga tiket 50 afghanistan atau sekitar 50 sen. Penontonnya kebanyakan laki-laki. Dalam masyarakat konservatif Afghanistan, bioskop dipandang sebagai ruang laki-laki dan hanya sedikit perempuan yang hadir.

Wahidi mengingat, bagaimana dia dan staf lainnya harus menonton terlebih dahulu semua film asing untuk menyensor adegan yang dianggap terlalu vulgar. Misalnya saja, adegan pasangan yang berciuman atau wanita yang berpakaian terlalu terbuka.

Adegan yang dianggap vulgar tapi tidak disensor dapat membuat penonton marah. Penonton yang tersinggung akan melemparkan benda-benda ke layar bioskop. Wahidi mengingat salah satu penjaga di Ariana marah dengan sebuah adegan kemudian menyerbu keluar dan berteriak padanya, "Bagaimana Anda bisa menunjukkan pornografi?".

Ferdous ditunjuk sebagai direktur Ariana lebih dari setahun yang lalu.  Dia sebelumnya memimpin divisi Kesetaraan Gender di Kabul. Di divisi tersebut, dia bekerja untuk mendapatkan gaji yang sama bagi karyawan wanita dan mengangkat wanita sebagai perwira senior di departemen kepolisian distrik ibukota.

Ketika Ferdous datang ke Ariana, para staf pria terkejut. Namun mereka sangat kooperatif dan telah bekerja dengan baik. Ferdous fokus untuk membuat bioskop lebih ramah bagi wanita. Mereka mendedikasikan satu sisi auditorium untuk pasangan dan keluarga. Ferdous menempatkan penjaga wanita agar penonton wanita merasa lebih nyaman.

Sejak saat itu, pasangan mulai datang ke bioskop secara reguler. Pada Maret 2021, bioskop menyelenggarakan festival film Afghanistan yang terbukti sangat populer. Festival itu dihadiri oleh para aktor Afghanistan yang mengadakan sesi pertemuan dan berdialog dengan penonton.

Sekarang semua kegiatan di Ariana terhenti. Nasib staf Ariana terkatung-katung. Karyawan laki-laki telah menerima sebagian dari gaji mereka sejak Taliban berkuasa. Namun Ferdous mengaku belum menerima gaji sama sekali.

“Perempuanlah yang paling menderita. Perempuan hanya meminta haknya untuk bekerja. Jika mereka tidak diizinkan (bekerja), situasi ekonomi akan memburuk," ujar Ferdous.

Direktur Umum Departemen Budaya Kota Kabul, Inanullah Amany, mengatakan jika Taliban melarang pemutaran film di bioskop, maka karyawan Ariana dapat dipindahkan untuk bekerja di kota lainnya. Opsi lainnya adalah mereka diberhentikan.

Para staf mengatakan mereka tidak bisa menebak kebijakan apa yang akan diputuskan oleh Taliban. Namun sebagian besar staf tidak ada yang terlalu berharap Taliban akan mengizinkan pemutaran film di bioskop. Kepala Proyeksi Ariana, Rahmatullah Ezati, mengatakan apabila Taliban memutuskan untuk menutup bioskop maka akan menjadi kerugian besar. Menurut Ezati, bioskop merupakan salah satu lambang budaya suatu negara.

"Jika suatu negara tidak memiliki bioskop, maka tidak ada budaya.  Melalui bioskop, kami telah melihat negara-negara lain seperti Eropa, Amerika Serikat, dan India," ujar Ezati.

 
Berita Terpopuler