PM Palestina Tagih Janji Biden Soal Konsulat AS di Yerusalem

PM Palestina menagih janji Biden soal pembukaan kembali konsulat AS di Yerusalem.

EPA/Atef Safadi
Kompleks Masjid Al-Aqsa di Yerusalem. (ilustrasi)
Rep: Kiki Sakinah Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID,  RAMALLAH -- Perdana Menteri Palestina Mohammed Shtayyeh berharap Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden akan menepati janjinya kepada rakyat Palestina, salah satunya membuka kembali Konsulat Amerika di Yerusalem.

Baca Juga

"Ada janji-janji Amerika terkait dengan pembukaan kembali Konsulat Amerika di Yerusalem, dan kami berharap itu akan dilaksanakan," kata Shtayyeh, dilansir di Arab News, Kamis (11/11).

 

Shtayyeh juga mengungkapkan kesulitan yang dihadapi Otoritas Palestina, secara politik dan finansial. Dia berharap akan ada perubahan, tetapi menurutnya tidak banyak bukti nyata yang ditunjukkan bahwa perubahan itu akan datang.

Pemerintahan AS di bawah mantan Presiden Donald Trump menutup konsulat tersebut, yang merupakan misi diplomatik Washington untuk Palestina, pada 2018. Ketika itu, AS memindahkan Kedutaan Besarnya ke Yerusalem dari Tel Aviv.

Namun ketika Biden menjabat pada Januari tahun ini. ia mengatakan akan membuka kembali konsulat AS di Yerusalem, namun hal itu belum terwujud. Di sisi lain, Shtayyeh menolak usulan Israel untuk membuka kembali konsulat tersebut di Ramallah alih-alih di Yerusalem.

"Ramallah bukan ibu kota Palestina. Ramallah bukan Yerusalem dan tidak akan begitu," ujarnya.

 

 

Sementara, Shtayyeh juga membantah laporan tentang inisiatif AS untuk membentuk pemerintah persatuan Palestina. Saluran berita Israel i24 telah melaporkan bahwa pemerintahan Biden merencanakan inisiatif untuk membentuk pemerintahan baru yang akan mencakup menteri dari Hamas dan Fatah dalam upaya untuk memulihkan perpecahan.

Dia juga mengkritik pengumuman baru-baru ini oleh otoritas Israel tentang rencana untuk membangun lebih banyak unit pemukiman baru di Tepi Barat. Shtayyeh lantas meminta AS dan negara-negara Eropa untuk membantu mempertahankan solusi dua negara dengan menekan Israel untuk menghentikan rencananya. 

"Israel mengobarkan tiga perang melawan kami: Perang melawan geografi, melalui perampasan tanah; perang melawan penduduk, yang diwakili di lingkungan Sheikh Jarrah; dan perangnya terhadap uang Palestina, melalui pemotongan dari pendapatan Palestina," katanya.

Shtayyeh menuduh Israel secara ilegal menyita antara 220 juta (70,6 juta dolar) dan 250 juta shekel per bulan tanpa audit keuangan independen. "Kami berdarah, secara finansial," tambahnya.

 

 

Otoritas Palestina, ungkapnya,  menghadapi defisit keuangan sebagai akibat dari tindakan Israel. Selain itu, Palestina juga mengalami penurunan pendanaan internasional dan Arab dalam dua tahun terakhir, dan penurunan ekonomi lokal akibat pandemi Covid-19. Sementara itu, kebutuhan pengeluaran tetap sama meskipun kekurangan keuangan.

"Kami menjalankan kewajiban kami, mendukung Jalur Gaza dan membantu Yerusalem, serta di berbagai daerah di mana orang-orang Palestina berada," kata Shtayyeh. 

Beberapa laporan pers telah menyarankan bahwa pemerintah Palestina mungkin mengurangi gaji pekerja sektor publik dalam upaya untuk mengatasi krisis keuangan.

"Kami berharap tahun depan akan lebih baik. Ada janji Arab untuk melanjutkan dukungan dari Arab Saudi, Kuwait dan Qatar, serta Aljazair," lanjutnya.

Mengenai kemungkinan dilanjutkannya proses politik untuk negosiasi antara Palestina dan Israel, dia mengatakan bahwa tidak ada kemajuan praktis di bidang ini. Menurutnya, ada kekosongan politik dan tidak ada inisiatif politik untuk mengisi kekosongan itu. Karena itu, kata dia, pemerintah AS harus memenuhi janjinya, termasuk dalam panggilan telepon antara Biden dan Presiden Mahmoud Abbas. 

Shtayyeh juga menuduh pemerintah Israel menolak untuk terlibat dalam upaya mencapai perdamaian, setelah komentar Perdana Menteri Naftali Bennett menolak kemungkinan negara Palestina. Ia lantas menjawab tentang penurunan tajam yang dilaporkan dalam popularitas Otoritas Palestina (PA) di antara orang-orang Palestina.

Ia mengatakan, kegagalan untuk mencapai hasil politik apapun di lapangan sebagai akibat dari kebijakan Israel tidak diragukan lagi membatasi popularitas PA.

"Kami tahu apa yang menggelitik sentimen masyarakat umum tetapi kami tidak mencari popularitas, kami memiliki visi politik nasional yang kami perjuangkan," tambahnya. 

 
Berita Terpopuler