Merck Tepis Tuduhan Bahaya Penggunaan Molnupiravir

Ilmuwan ingatkan bahaya penggunaan molnupiravir.

www.freepik.com
Obat Covid-19 (ilustrasi). Molnupiravir produksi Merck sedang dalam proses peninjauan oleh Food and Drugs Administration AS sebagai obat Covid-19.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pil antivirus eksperimental molnupiravir sedang dalam proses peninjauan Food and Drugs Administration Amerika Serikat untuk otorisasi penggunaan darurat sebagai obat Covid-19. Namun, sebagian ahli kesehatan mengungkap potensi masalah keamanan serius yang menyangkut metode pil tersebut dalam membunuh virus.

Molnupiravir ialah obat oral antivirus yang terintegrasi ke dalam susunan genetik virus hingga menyebabkan sejumlah besar mutasi untuk menghancurkan virus. Namun, beberapa tes laboratorium menunjukkan obat buatan perusahaan farmasi Merck itu bisa memicu mutasi pada materi genetik pada sel mamalia.

Baca Juga

Secara teoritis, hal tersebut dapat menyebabkan kanker atau cacat lahir.  Merck menyatakan bahwa tes pada hewan menunjukkan hasil yang berkebalikan dengan tuduhan tersebut.

"Keseluruhan data dari penelitian ini menunjukkan bahwa molnupiravir tidak mutagenik atau genotoksik dalam sistem mamalia in vivo," tulis pernyataan resmi Merck, dikutip Fox News pada Kamis (7/10).

Direktur divisi farmakologi biokimia di Emory University School of Medicine, Raymond Schinazi, memperingatkan bahwa molnupiravir berubah menjadi senyawa berbahaya, NHC, setelah tertelan. Dia menyarankan agar penggunaan secara luas dilakukan secara hati-hati sampai tersedia lebih banyak data. Sebab, NHC memiliki potensi bahaya bagi populasi muda usia reproduksi atau mereka yang sedang hamil.

Uji coba Merck saat ini memang mengecualikan ibu hamil. Analisis sementara dari uji coba global fase 3 yang dirilis pekan lalu menunjukkan molnupiravir mengurangi risiko rawat inap atau kematian hampir 50 persen dibandingkan dengan plasebo untuk pasien dewasa dengan Covid-19 ringan hingga sedang.

Pada hari ke-29 penelitian, peserta uji coba yang menerima molnupiravir hanya 7,3 persen yang dirawat di rumah sakit atau kemudian meninggal. Sementara itu, angkanya 14,1 persen pada pasien yang secara acak menerima plasebo.

Setiap pasien memiliki setidaknya satu faktor risiko hasil dan gejala yang buruk dalam waktu lima hari setelah memulai penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah menguji apakah obat oral dapat mengurangi rawat inap atau kematian.

Pekan lalu, Merck mengatakan pihaknya berencana untuk meminta otorisasi darurat dari Food and Drug Administration (FDA) sesegera mungkin. Perusahaan juga memiliki perjanjian untuk memasok 1,7 juta program antivirus ke pemerintah Amerika Serikat setelah otorisasi atau persetujuan.

Seperti Tamiflu yang dapat mencegah komplikasi bagi pasien yang didiagnosis dengan influenza, molnupiravir memiliki potensi yang sama untuk mencegah rawat inap dan kematian setelah didiagnosis dengan Covid-19. FDA ditugaskan untuk memeriksa data untuk rekomendasi otorisasi darurat.

Jika disetujui maka molnupiravir berpotensi mencegah lebih banyak pasien dengan Covid-19 ringan hingga sedang untuk sampai mengalami rawat inap atau kematian karena penyakit pandemi itu. Hanya saja, tidak ada batas waktu pasti mengenai penerbitan izin penggunaan daruratnya.

 
Berita Terpopuler