KH Abdurrahman Syamsuri Sesepuh Pesantren Muhammadiyah (II)

KH Abdurrahman Syamsuri memilih aktif berkhidmat di Persyarikatan Muhammadiyah.

Dok Istimewa
KH Abdurrahman Syamsuri
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, KH Abdurrahman Syamsuri mungkin tidak seperti umumnya para pendiri atau pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur yang cenderung bergabung dengan NU. Ia memilih aktif berkhidmat di Persyarikatan Muhammadiyah.

Baca Juga

Dalam persyarikatan tersebut, dirinya pernah menjabat sebagai direktur Pendidikan Guru Agama (PGA) pada 1956. Selain itu, namanya tercatat selaku anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak 1978, anggota Tanwir Muhammadiyah pada 1979-1984, dan ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Lamongan periode 1977-1982.

Meskipun memilih Muhammadiyah, hal itu tidak berarti bahwa dirinya bertungkus lumus di satu organisasi saja. Sebab, perannya juga sebagai penghubung banyak organisasi atau pergerakan dakwah Islam.

Sebagai contoh, ia menjalin hubungan yang akrab dengan Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang mendirikan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia pasca runtuhnya Orde Lama. Menurutnya, kolaborasi antarelemen umat perlu dilakukan dalam rangka mencetak kaderkader Islam yang dapat menjadi dai di seluruh penjuru nusantara.

Kedekatan Kiai Abdurrahman dengan Pak Natsir bagaikan simbiosis mutualisme. Dewan Da'wah bergerak dalam bidang dakwah Islam yang jangkauannya hingga ke pelosok-pelosok negeri.

Karena itu, mantan perdana menteri RI itu memerlukan banyak tenaga dai yang siap dikirim untuk mengabdi di tengah masyarakat. Sementara itu, pesantren asuhan Kiai Abdurrahman mencetak alumni yang selalu siap untuk mengamalkan ilmunya.

 

Kiai Abdurrahman dikenal sebagai seorang alim dengan pribadi yang santun dan lembut dalam bertutur kata. Dalam berdakwah, ia menggunakan metode persuasif dan kontekstual. Sebelum memberikan ceramah di suatu tempat, umpamanya, ia berdialog terlebih dahulu dengan pihak yang mengundangnya. Itu dilakukannya untuk mencari tahu persoalan-persoalan yang aktual yang sedang mereka hadapi.

Sepanjang hayatnya, sosok yang pernah berguru kepada Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari itu konsisten mengabdikan dirinya untuk syiar Islam. Dalam semangat jihad pula, perjuangannya ditujukan kepada kemerdekaan Indonesia.

Saat masih nyantri di pondok pesantren yang diasuh KH Mohammad Amin Musthofa, Abdurrahman muda turut serta di medan juang. Waktu itu, seluruh bangsa baru saja merasakan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Berbagai elemen berusaha mempertahankan kedaulatan negeri.

Di Lamongan, Jawa Timur, Abdurrahman turut serta dalam Laskar Hizbullah. Bahkan, dirinya sampai menjadi komandan laskar tersebut. Dalam hal ini, ia mendapatkan dukungan penuh dari Kiai Amin Musthofa serta para santri setempat.

Pada 25 Oktober 1945, masyarakat Jawa Timur mendapatkan kabar bahwa tentara Sekutu mendarat di Surabaya. Kiai Amin segera menggelar rapat bersama para kiai di daerah Blimbing, Paciran. Maka, diputuskanlah untuk mengirimkan sejumlah anggota laskar Hizbullah Paciran ke Surabaya. Tujuannya untuk ikut mengadang gerak pasukan musuh yang saat itu dikomandoi Brigadir Jenderal AWS Mallaby. 

 

Beberapa pekan kemudian, tepatnya pada 10 November 1945, pertempuran besar pun pecah di Surabaya. Bersama dengan Kiai Amin, Abdurrahman turut serta dalam barisan pejuang. Dengan gigih, dirinya bertempur untuk mengusir kekuatan yang hendak menjajah kembali Bumi Pertiwi. Waktu itu, usianya baru 20 tahun.

Kepercayaan Kiai Amin begitu besar kepada Kiai Abdurrahman hingga Kiai Amin menjodohkan dengan salah satu putrinya yang bernama Rahimah. Perempuan ini pernah belajar di Pondok Kranji, sama seperti dirinya. Pada 1949, Kiai Amin meninggal dunia. Meskipun pernikahan dengan Rahimah tidak bertahan, dirinya tetap menjalin hubungan kekerabatan dengan keluarga besar almarhum.

Bahkan, Kiai Abdurrahman akhirnya menikahkan salah satu putrinya, Zakiyah, dengan putra Kiai Amin yang bernama Muhammad Sabiq. Jejak perjuangannya juga tampak pada peristiwa menjelang runtuhnya Orde Lama. Waktu itu, rezim Sukarno begitu dekat dengan Partai Komunisme Indonesia (PKI).

Belakangan, pecah pemberontakan G30S/PKI pada 30 September 1965. Di berbagai daerah, militer, khususnya Angkatan Darat, meminta bantuan kepada kalangan pesantren untuk memadamkan dampak kup itu. Di Lamongan, Kiai Abdurrahman menjadi ketua komando strategi yang bertujuan melawan sisa-sisa kekuatan PKI setempat.

Pondok Pesantren Karangasem yang diasuhnya juga difungsikan sebagai salah satu pusat mobilitas pejuang dalam menghadapi keganasan kaum komunis di wilayah Pantai Utara Jawa. 

KH Abdurrahman Syamsuri meninggal dunia pada Kamis, 27 Maret 1997 dalam usia 72 tahun. Ia mengembuskan napas terakhir ketika sedang dirawat di Rumah Sakit Darmo, Surabaya, akibat penyakit gula yang dideritanya sejak lama.

Keluarga, santri, dan ribuan orang ikut mengantar jenazah almarhum ke tempat peristirahatan terakhirnya di kompleks pemakaman umum Sluwuk Desa Paciran, Lamongan. 

 

 

 
Berita Terpopuler