Motivasi KH Nachrowi Thohir Kembangkan Pendidikan Islam (I)

KH Nachrowi Thohir mendirikan Madrasah Muslimin Nahdlatul Wathan (NW).

blogspot.com
Madrasah (ilustrasi)
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID,  Mengutip artikel Buchori Amin dan Mawardi yang bertajuk Sejarah Singkat Pondok Pesantren Bungkuk Singosari (1971), KH Nachrowi Thohir itu lahir di Bungkuk, Singosari, Malang, Jawa Timur, pada 1317 H atau bertepatan dengan 1900 M.

Baca Juga

Kedua orang tuanya merupakan tokoh masyarakat setempat. Ayahnya bernama KH Muhammad Thohir, yang juga dikenal sebagai pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Falah Bungkuk. Ibunya adalah Hj Murtosiyah, putri dari seorang mantan prajurit Pangeran Diponegoro, KH Chamimuddin.

Sejak kecil, Nachrowi belajar agama langsung kepada ayahadanya di Pesantren Bungkuk. Lem baga itu memang menjadi salah satu rujukan tem pat belajar kaum Muslimin khususnya di Jawa Ti mur. Selanjutnya, putra bungsu pasangan Kiai M Thohir dan Hj Murtosiyah tersebut melanjutkan pencarian ilmunya ke Pondok Pesantren Jampes, Kediri.

Di pesantren tersebut, ia belajar kepada KH Ihsan Muhammad Dahlan, yang juga masyhur sebagai penulis kitab Sirajut Thalibin, sebuah penjelasan (syarah) atas Ihya 'Ulumuddin karya Hujjatul Islam Imam Ghazali. Setelah banyak menimba ilmu di sana, Nachrowi muda lalu berpamitan kepada kiai setempat untuk meneruskan rihlahnya ke Pondok Pesantren Siwalanpanji Sidoarjo yang diasuh KH Ya'qub.

Selang beberapa waktu kemudian, dirinya hijrah ke Pondok Pesantren Jamsaren Solo, Jawa Tengah. Setelah itu, Pondok Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy' ari menjadi pemberhentian selanjutnya. Pemuda tersebut mengambil banyak pelajaran dan hikmah dari sang pendiri Jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU) itu. Atas sarannya pula, ia pun berkelana ke Pulau Madura untuk berguru pada seorang waliyullah, Syaikhona KH Cholil Bangkalan.

 

 

Bahkan, beberapa sumber menyebutkan Nachrowi sebenarnya sempat merantau ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima sekaligus juga mendalami ilmu-ilmu agama. Hingga saat itu, namanya semakin dikenal sebagai seorang alim yang saleh dan tawadu.

Masyarakat memanggilnya sebagai kiai dan memandangnya selaku panutan. Seusai dari Madura, KH Nachrowi memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Kepulangannya disambut gembira penduduk setempat.

Fokus pendidikan Di Malang, reputasi KH Nachrowi menarik perhatian seorang saudagar kaya asal Jagalan, KH Abdul Hadi. Waktu itu, ulama muda tersebut belum menikah. Maka Kiai Abdul Hadi berinisiatif untuk menikahkan putrinya dengan pria alumnus Tebuireng tersebut.

Pernikahan itu berlangsung lancar. Suatu hari, Kiai Abdul Hadi memanggil menantunya itu untuk mengungkapkan kegelisahannya perihal situasi umat. Sebab, waktu itu pemerintah kolonial sangat membatasi ruang gerak Muslimin untuk bisa maju.

Bahkan, sejak awal abad ke-20 Be landa menerapkan Politik Etis yang, antara lain, memperkenalkan sistem pengajaran Barat kepada penduduk pribumi.

 

 

Meskipun sebagai saudagar sukses, Kiai Abdul Hadi juga menaruh perhatian besar pada dunia pendidikan. Dalam pengamatannya, Politik Etis memunculkan perbedaan yang sangat mencolok antara komunitas Islam dan kelompok-kelompok lain, utamanya golongan pangreh praja dan priyayi. Ada kesan Muslimin, khususnya kelompok kiai dan santri, tersisihkan.

Mendengarkan uraian mertuanya itu, Kiai Nachrowi menjadi kian termotivasi untuk berjuang mengembangkan pendidikan Islam. Dengan dukungan Kiai Abdul Hadi, ia pun berinisiatif untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam di Malang. Pada 1921, lahirlah Madrasah Muslimin Nahdlatul Wathan (NW).

Nama madrasah tersebut secara harfiah berarti 'kebangkitan Tanah Air.' Dalam memilih nama itu, Kiai Nachrowi jelas bervisi kemajuan untuk umat Islam dan bangsa Indonesia umumnya. Dengan demi kian, tujuannya adalah kemerdekaan nasional. Ini sejalan dengan tekadnya, hubbul wathon minal iman, cinta terhadap tanah air adalah bagian dari iman.

Format madrasah dipilihnya bukan karena kurang percaya terhadap sistem klasikal. Metode pengajaran khas pesantren tetap dipertahan kannya. Bagaimanapun, penerapannya di Madrasah Muslimin NW juga dilengkapi dengan berbagai skema kurikulum dan fasilitas yang terbilang modern. Harapannya, generasi Muslimin dapat mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa penjajah.

 

 

Salah satu keunikan madrasah tersebut ialah adanya pengajaran baca dan tulis aksara Latin. Dengan begitu, para murid tidak hanya menerima pen didikan bahasa Arab lisan dan tulisan, sebagaimana jamaknya pesantren. Mereka pun akan dibimbing untuk mahir menulis dan membaca tulisan dalam aksara Latin, yang sering dipakai pemerintah kolonial.

Selanjutnya, Kiai Nachrowi juga melihat bahwa kaum laki-laki cenderung mendapatkan kesempatan yang lebih baik. Jarang ada lembaga pendidikan Islam saat itu yang memberi ruang pada kaum perempuan. Maka dari itu, ia pun merintis kelas yang dikhususkan bagi murid-murid pe rempuan. Pada akhirnya, kelas tersebut berkembang menjadi Madrasah Muslimat Nahdlatul Wathan pada 1924.

Pada 1926, Kiai Nachrowi turut mendirikan Nahdlatul Ulama, bersama gurunya KH Hasyim Asy'ari serta KH Abdul Wahab Hasbullah. Sejak saat itu, struktur kepengurusan Madrasah Mus limin dan Muslimat NW pun disertakan dalam organisasi tersebut. Bahkan, nomenklaturnya berubah menjadi Madrasah Muslimin dan Muslimat Nahdlatul Ulama. Dengan demikian, kebera daannya merupakan bagian integral dari pergerakan NU khususnya dalam bidang pendidikan.

 

 

 
Berita Terpopuler