KH Ahmad Al-Hadi Perintis Pesantren di Bali (I)

Sepulang dari Hijaz, ia sempat berguru kepada Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari.

ANTARA FOTO/NOVRIAN ARBI
Ilustrasi Pondok Pesantren
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- KH Ahmad al-Hadi lahir di Kampung Kauman, Semarang, Jawa Tengah, pada 1895 M. Ayahnya adalah seorang pendakwah lokal, yakni KH Dahlan Al-Falaki. Adapun ibundanya bernama Nyai Siti Zahroh.

Baca Juga

Dari garis ibunya, ia mendapatkan silsilah sampai ke ulama besar asal kota pesisir utara Jawa itu. Ya, Raden Ahmad al-Hadi tidak lain adalah cucu KH Sholeh Darat.

Nama aslinya adalah Ahmad. Sebutan al-Hadi muncul belakangan ketika seorang gurunya, KH Idris Jamsaren, memberikan julukan itu kepadanya. Selain isyarat sayang, gelar itu juga menandakan pengakuan dari kalangan alim ulama terhadap tekad lelaki ini di dunia dakwah Islam.

Masa muda Ahmad al-Hadi dihabiskan untuk berguru kepada sejumlah ulama ternama di Tanah Jawa. Riwayat pendidikannya dimulai dari Pondok Pesantren Buntet Cirebon, Jawa Barat.

Tidak hanya mengkaji ilmu-ilmu agama, ia pun mempelajari ilmu bela diri, khususnya silat, selama di sana. Selanjutnya, ia belajar ilmu nahwu dan sharaf kepada Kiai Umar di Sarang, Jawa Tengah. Ilmu Alquran dipelajarinya saat nyantri di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, yang diasuh KH Munawwir.

 

 

Masih haus akan ilmu-ilmu agama, Ahmad pun melangkahkan kaki ke Termas. Di sana, ia belajar kepada pamannya sendiri, KH Raden Dimyati. Sesudah itu, lelaki ini mengaji kepada Kiai Idris di Pesantren Jamsaren Solo dan Madrasah Manba'ul Ulum. Dari Jawa Tengah, kesempatan untuknya bertolak ke Makkah al- Mukarramah untuk menunaikan haji sekaligus melanjutkan rihlah keilmuan.

Dengan penuh komitmen dan disiplin, Ahmad al-Hadi belajar di Tanah Suci. Banyak guru dan syekh ditemuinya guna mendapatkan ilmu dan hikmah. Dalam periode itu, ia pun semakin matang sebagai seorang mubaligh yang alim.

Tiga tahun kemudian, ia kembali ke Tanah Air. Kecintaan akan ilmu-ilmu agama membuatnya terus menjadi santri.

Sepulang dari Hijaz, ia sempat berguru kepada Hadratus Syekh KH Hasyim Asy'ari. Setelah itu, atas saran sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu, dirinya berangkat ke Bangkalan, Madura.

Tujuannya adalah belajar kepada KH R Muhammad Kholil Bangkalan. Alim dari Pulau Madura itu dijuluki sebagai syaikhona. Sebab, Kiai Kholil diakui luas sebagai gurunya para kiai se-Jawa, atau bahkan seluruh Nusantara.

Banyak santrinya yang di kemudian hari menjadi ulama besar. Sebut saja, KH Hasyim Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan pendiri Persyarikatan Muhammadiyah.

Syaikhona Kholil sangat luar biasa dalam mengemban amanah sebagai seorang guru agama. Dedikasinya itu pun membuahkan hasil yang sangat baik. Beberapa santrinya bisa tampil menjadi ulama panutan yang berpengaruh. Mereka bisa dipertanggungjawabkan kualitas keilmuannya.

 

 

 
Berita Terpopuler