KH Raden Muhammad Amin, Pejuang dari Kalibata (I)

Guru Amin tidak hanya aktif dalam dunia dakwah, tetapi juga perjuangan.

Tangkapan Layar
Masjid Guru Amin
Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Dalam buku berjudul Ulama Betawi, Ahmad Fadli menjelaskan, KH Raden Muhammad Amin atau dikenal dengan Guru Amin Kalibata lahir pada 3 Juni 1901 di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Ia adalah putra dari pasangan KHR Muhammad Ali dan Maryam.

Baca Juga

Dari garis keturunan ayahnya, terdapat silsilah yang sampai pada Pangeran Raden Syarief atau Pangeran Sanghiyang. Raden Syarief adalah tokoh agama asal Banten yang aktif berjuang mengusir kolonialisme. Putra Pangeran Senopati Ngalaga itu dikebumikan di Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Hingga kini, makamnya banyak didatangi peziarah.

Saat masih kecil, Muhammad Amin belajar agama langsung kepada ayah dan ibunya. Sebab, mereka berdua sama-sama ahli dakwah Islam. Tidak sulit bagi Amin untuk menerima dan mencerna pelajaran dan hikmah dari orang tuanya.

Dalam usia 10 tahun, Amin sudah mempelajari ilmu-ilmu dasar aga ma Islam. Sebagai contoh, ilmu nahwu, tauhid, fikih, dan lain-lain. Ia memang sudah terlihat cemerlang sejak usia belia. Oleh karena itu, ayahnya tidak terus mendorongnya agar kelak menjadi seorang ulama.

Saat usianya baru menginjak usia 12 tahun, ayahnya meninggal dunia pada 1913. Amin pun merasa sangat sedih kehilangan bapak sekaligus guru tercintanya. Setelah itu, ia mempelajari sendiri kitab-kitab peninggalan almarhum. Ia juga belajar kepada kakaknya, KH Zainudin atau Guru Ending.

 

 

Selain kepada ayah dan kakaknya, Amin juga berguru kepada Guru Marzuqi Cipinang Muara, Guru Mansur Jembatan Lima, Guru Abdur rahim Kuningan dan Syaikh Mukhtar at-tharid. Setelah memiliki ilmu-ilmu agama yang cukup, Amin akhirnya bisa menggantikan posisi KHR Muhammad Ali. Yakni, sebagai pengajar kitab Fathul Mu'in di Masjid Salafiyah Kalibata Pulo masjid yang didirikan ayahnya itu.

Pada 1919, Amin menikah dengan Fatimah. Pasangan itu lantas hijrah ke Kalbata, Jakarta Selatan. Untuk menghidupi keluarganya, Amin berbisnis barang-barang bahan bangunan. Profesi yang banyak digeluti para haji di Betawi pada masa itu.

Amin berhasil merintis usahanya dengan baik. Pada 1930, ia dapat membeli tanah seluas kira-kira satu hektare di pinggir Jalan Raya Pasar Minggu (kini menjadi bagian dari Taman Makam Pahlawan Kalibata). Di atas tanah itu, Amin tak hanya membangun rumahnya, tetapi juga Pondok Pesantren Unwanul Huda.

Dari pernikahannya dengan Fatimah, Guru Amin dikarunia 19 orang anak. Beberapa di antaranya menjadi sosok alim ulama yang dihormati. Sebut saja, KH Abdul Aziz Amin, KH Zayadi Amin, KH Sya rifudin Amin, Ustazah Hj Darjah Amin, KH Hasbullah Amin, dan H Makmun Amin.

 

 

Turut berjuang

Guru Amin tidak hanya aktif dalam dunia dakwah, tetapi juga perjuangan. Ia bersahabat dengan sejumlah ulama pejuang di daerah Betawi, semisal KH Noer Ali dan H Darip Klender. Seperti para sahabat seperjuangannya itu, Guru Amin telah banyak berjasa untuk negeri ini.

Ia pernah memimpin para santri dan pemuda dalam pertempuran melawan Belanda di Kalibata, tepatnya sekitar pabrik sepatu yang kala itu masih berupa hutan karet. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Padahal, kekuatan persenjataan Pribumi tak secanggih yang dimiliki serdadu kolonial. Berdirinya taman makam pahlawan di Kalibata antara lain diilhami dari peristiwa heroik tersebut.

Sejak pertempuran di Kalibata, Guru Amin selalu dicari-cari oleh Belanda dan antek-anteknya. Pernah suatu hari, pasukan Belanda menemukan Guru Amin sedang berada di rumah mertuanya, H Abdullah. Saat itu, ia sedang ditemani putranya, Hasbullah Amin, dan seorang sanak familinya yang keturunan Arab, Syarifah. 

Belanda mengira, Guru Amin adalah bapak dari Syarifah. Perempuan itu pun ditanya, "Apa dia bapak mu? Syarifah menjawab tanpa ragu, "Iya."

 

 

Mendengar jawaban itu, para serdadu Belanda itu pun meninggalkan kediaman mereka. Pencarian atas Guru Amin pun dilanjutkan di tempat lain. Sang alim pun selamat dari penangkapan.

Karena situasinya sudah tidak kondusif lagi, maka pada 1946 Guru Amin hijrah ke Cikampek. Untuk sampai di sana, ia menggunakan kereta api dari Stasiun Manggarai. Sepanjang perjalanan, ia menyamar sebagai seorang tukang beras. Selama dua tahun, Guru Amin ditampung oleh sahabatnya, KH Syafi'i Ahmad.

Dari Cikampek, Guru Amin terus memimpin para santrinya agar terus melanjutkan perjuangan. Berbagai pertempuran pun pecah di sejumlah front. Hingga akhirnya, Guru Amin kembali lagi ke Kalibata pada 1948.

Ternyata, rumahnya sudah diacak-acak Belanda. Semua kitab yang disimpan di tiga lemari di hancurkan sehingga tidak bisa digunakan lagi. Kendati demikian, masyarakat setempat tetap menyambut ke datangan Guru Amin dengan suka cita.

Bahkan, hampir tiap hari rumah Guru Amin dikunjungi oleh santri dan khalayak umum. Belanda ke mudian mencurigai, sosok yang sedang diburunya itu hendak melakukan mobilisasi massa. Penguasa kolonial lantas melarang Guru Amin dan keluarganya untuk keluar rumah kecuali dalam menunaikan tugas mengajar di Pesantren Unwanul Huda.

 

 

Sejak proklamasi pada 17 Agustus 1945, Indonesia berdiri sebagai suatu negara berdaulat. Pemerintah pusat melalui Ir Sofwan akhirnya meminta Guru Amin menjadi ketua Mahkamah Islam Tinggi (MIT) yang berkedudukan di Solo, Jawa Tengah.

Namun, mubaligh itu menolak tawaraan tersebut secara halus. Ia mengaku, dirinya tidak mendapat restu dari sang ibu. Akhirnya jabatan tersebut diserahkan kepada KHR Muhammad Adnan. 

Pada 1950, Menteri Agama KH Masykur juga pernah meminta bantuan Guru Amin untuk membentuk penghulu-penghulu di kantor urusan agama (KUA) area Jakarta dan sekitarnya. Dalam mengemban tugas itu, Guru Amin kemudian merekrut dan mengangkat para santrinya yang mumpuni.

Dalam waktu relatif singkat, terbentuklah 22 penghulu yang tersebar di 22 kecamatan se-Jakarta dan sekitarnya. Termasuk kawasan-kawasan yang kala itu cukup terpencil, semisal Tambun, Cibitung, Lemahabang hingga Pebayoran dan Cabangbungin. 

Setelah tugas membentuk KUA selesai, Guru Amin kemudian melapor kan langsung kepada Menteri Agama KH Masykur. Selanjutnya KH Masykur meminta bantuan Guru Amin untuk bersedia menjadi Kepala Penghulu yang mengawasi kepala-kepala KUA.

 

 
Berita Terpopuler