Menkeu: Biaya Logistik di Indonesia Tinggi, Capai 23 Persen

Tingginya biaya logistik menyebabkan Indonesia tak menarik untuk investasi.

Humas Ditjen Hubla
Pemerintah menyebut biaya logistik di Indonesia sangat mahal sebesar 23,5 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Rep: Novita Intan Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut biaya logistik di Indonesia sangat mahal sebesar 23,5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini jauh lebih dari biaya logistik di negara-negara kawasan ASEAN termasuk Malaysia.

Baca Juga

"Pertama kita tahu, Indonesia biaya logistiknya sangat tinggi dibandingkan negara-negara lain. Di Indonesia mengeluarkan 23,5 persen dari ekonomi nasional sebagai biaya logistik," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani saat peluncuran Batam Logistic Ecosystem secara virtual, Kamis (18/3).

Padahal, kata bendahara negara ini, biaya logistik di Malaysia hanya mencapai 13 persen dari PD. Alhasil, ini membuat Indonesia tidak cukup seksi mata investor asing sebagai negara tujuan berinvestasi.

"Karena kita langsung tahu perusahaan yang beroperasi di sini itu 10 persen kalah kompetisinya. Hanya dari biaya logistik," ucapnya.

Sri Mulyani mengatakan, tingginya biaya logistik ini tak lepas dari masih berbelit-belitnya proses pengajuan perizinan berusaha. Sehingga pelaku usaha harus merogoh biaya yang tak sedikit dan waktu yang lebih panjang untuk menyelesaikan perizinan.

Oleh karena itu, pihaknya menyambut baik kehadiran Batam Logistic Ecosystem. Menurutnya, BLE sebagai solusi untuk menekan biaya logistik guna menggaet lebih banyak lagi investor asing.

"Jadi, kalau kita mau menjadi negara besar, ingin Indonesia maju, masyarakatnya sejahtera, ingin investasi datang kesini, harus (biaya logistik) competitiveness," ucapnya.

 

BLE merupakan bagian dari National Logistic Ecosystem (NLE). NLE merupakan pembaharuan tata cara registrasi kepabeanan terkait manifes kedatangan dan keberangkatan sarana pengangkut. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 97/PMK.04/2020 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 158/PMK.04/2017 tentang Tatalaksana Penyerahan Pemberitahuan Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut. Beleid ini mulai berlaku pada 28 Agustus 2020. 

Melalui sistem ini, Bea Cukai mampu menyelaraskan pendataan angkutan logistik yang masuk atau keluar di kawasan pabean. Kawasan pabean merupakan sebutan bagi kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. 

Pemerintah menerapkan NLE untuk mempermudah penyampaian permohonan perizinan terkait pembongkaran dan penimbunan barang impor sesuai pasal 22 PMK tersebut. Selain itu, data dari sistem NLE juga digunakan mencatat rencana kedatangan sarana pengangkut (RKSP) yang memuat barang niaga yang diangkut (outward manifest) atau didatangkan (inward manifest) angkutan logistik melalui jalur laut, udara, dan darat. Dengan kata lain, NLE menjadi alat deteksi dini Bea Cukai ketika memantau arus bongkar muat di kawasan pabean. 

 

Selain itu, beleid ini juga mengatur sanksi bagi pengangkut yang tidak menyampaikan pemberitahuan RKSP melebihi tenggat waktu 24 jam sebelum sarana pengangkut tiba.

 
Berita Terpopuler