Siapa Sebenarnya GAR-ITB?

GAR menuduh Din atas dugaan pelanggaran ASN dan perilaku dengan tuduhan radikalisme.

Republika/Iman Firmansyah
Din Syamsudin
Rep: Rizky Suryarandika Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tergabung dalam Gerakan Anti Radikalisme (GAR) ITB menuntut Din Syamsuddin dikeluarkan sebagai anggota Majelis Wali Amanat (MWA) ITB dari unsur masyarakat. GAR ITB menuduh Din atas dugaan pelanggaran kode etik ASN dan perilaku dengan tuduhan radikalisme.

Baca Juga

Siapa sebenarnya GAR-ITB?

Juru Bicara GAR-ITB, Shinta Madesari Hudiarto menceritakan, awal terbentuk GAR-ITB dari keprihatinan sekelompok alumni terhadap intoleransi dan radikalisme yang berkembang di ITB. Awal kegiatan GAR-ITB ialah petisi menolak Din Syamsuddin saat pemilihan MWA sekitar 2018-2019. 

Setelahnya GAR-ITB mewadah dalam Whatsapp Group (WAG). Selain WAG GAR-ITB, para anggota diklaim juga datang dari WAG komunitas ITB lainnya karena masing-masing punya WAG jurusan atau angkatan.

Shinta berdalih, GAR-ITB tak memiliki struktur resmi karena keanggotaannya "cair". Menurutnya, semua anggota merumuskan ide, membantu cari materi dan segala kebutuhan lainnya.

 

Kalau ada yang mendapatkan evidence tentang sesuatu hal, ya dibicarakan di grup, draft juga dishare di semua WAG komunitas, lalu di review oleh semua. Kalau sudah final diedarin lagi di WAG komunitas, dan ditanya siapa yang mau dukung dan siapa yang mau tarik nama. 

"Dinamis saja. Itu makanya, jumlah penandatangan tidak pernah tetap," kata Shinta pada Republika, belum lama ini.

Shinta menjelaskan, GAR-ITB bukan kelompok yang kaku dengan standar pedoman baku. Ia pun membantah gerakan itu dibentuk khusus untuk tujuan tertentu karena sifatnya "cair".

"Partisipannya getok tular dari WAG ke WAG. Jadi bukan organisasi yang dibentuk khusus. Anggotanya juga cair. Tidak semua anggota komunitas adalah GAR, sebaliknya juga, tidak semua anggota GAR dukung semua surat. Jadi ya cair aja. Namanya juga gerakan," jelas Shinta.

 

Dalam hal pendanaan, baru-baru ini terungkap ke publik soal arus keuangan GAR-ITB. Shinta tak mempermasalahkannya karena itu membuktikan transparansi gerakannya. 

Selama ini, pendanaan GAR-ITB diklaim berasal dari saweran para alumni. Ia menampik kemungkinan didanai oleh pihak di luar alumni ITB. Kemudian pengeluarannya untuk keperluan seperti pembuatan spanduk, karangan bunga dan pelaporan Din Syamsuddin.

"Enggak mudah ngumpulin dana segitu. Jadi kalau ada yang masih nyinyir bilang kita inilah itulah, dibilang kita terima bayaran lah, ya... saya senyumin aja lah," ujar Shinta.

Shinta memastikan semua pendukung GAR-ITB adalah alumni ITB. Ia kembali membantah adanya dukungan personal dari luar ITB.

Shinta kemudian menanggapi isu keterlibatan Juru bicara Presiden RI Fadjroel Rachman dalam GAR-ITB. Ia menyatakan, tidak ada tanda tangan Fadjroel dalam surat-surat GAR-ITB. 

Atas dasar itu, Shinta berasumsi, bahwa Fadjroel tak dukung gerakan itu. Adapun mengenai keaktifan Fadjroel dalam WAG alumni, menurut Shinta, wajar saja mengingat Fadjroel merupakan salah satu alumni ITB.

"Kalau dia jadi anggota WAG komunitas ITB saya rasa wajar lah. Kan dia alumni ITB, masak enggak boleh sosialisasi dengan teman-teman alumninya?" bela Shinta.

Soal pencatutan nama alumni ITB dalam GAR-ITB, kata Shinta, bisa saja terjadi karena tidak infokan ke admin WAG untuk tarik namanya yang bersangkutan atau namanya didaftarkan oleh temannya, orangtuanya tanpa memberitahu si empunya nama.

"Alumni pendukung GAR-ITB dari tahun 1950-an sampai 2000-an. Kejadian seperti itu mungkin terjadi. Tapi, presentasenya enggak banyak. Sudah kami selesaikan secara personal dengan masing-masing yang komplain," jelas Shinta.

Mengenai laporan GAR-ITB terhadap Din Syamsuddin, Shinta menerangkan, maksud kalimat "bersikap radikal" dalam surat laporannya adalah mengacu pada definisi ASN tentang radikal. Sebab, pelaporannya untuk kasus dugaan pelanggaran etika dan disiplin ASN. Sehingga, mengacunya pada pasal-pasal yang ada di peraturan tentang ASN.

 

Latar belakang laporan itu, karena Din Syamsuddin sampai saat ini secara resmi masih menjabat anggota Majelis Wali Amanat (MWA) ITB. Padahal, menurut Shinta, Din telah melanggar aturan yang mengikatnya sebagai ASN.

Aturan yang diduga dilanggar Din versi Shinta ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019 dan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diteken 11 kementerian dan lembaga tentang anti radikalisme di kalangan ASN.

"MWA punya aturan-aturannya, dan beliau juga sebagai ASN terikat aturan ASN. Kami melaporkan beliau ke KASN karena banyak tindakan beliau yang sudah keluar dari aturan," tegas Shinta.

Shinta menampik, GAR-ITB menciptakan kegaduhan baru di masyarakat. Dia hanya ingin melaporkan Din Syamsuddin ke KASN karena menilai tindakan Din melanggar aturan ASN. Dia mengklaim, laporannya berdasarkan bukti valid. 

"Dan laporan itu sudah sejak 28 Oktober 2020, jadi sudah 4 bulan lalu. Dan nggak ada ribut-ribut," ujar Shinta. 

Ribut-ribut baru terjadi belakangan setelah laporan tersebut ditangani oleh Satgas Antiradikalisme SKB 11 Menteri dan juga oleh Kemenag. "Kenapa ditangani oleh mereka? Ya tanya sama yang berwenang lah. Karena itu khan mekanisme di dalam KASN / KemenpanRB. Bukan GAR yang menentukan laporan ini harus diputuskan oleh siapa," ujar Shinta.

Di sisi lain, Shinta tak setuju bila GAR-ITB disebut merusak citra ITB. Dia merasa, tindakannya masih didukung para alumni ITB. Dia ingin, dugaan pelanggaran oleh Din ditindak serius agar tak menjadi preseden di kemudian hari.

"GAR melaporkan Pak Din S urusan pribadi beliau sebagai ASN. Itu ranah administrasi. Bukan ranah pidana. Dan tidak ada sangkut paut dengan Muhammadiyah," lanjut Shinta.

"GAR melaporkan Din S ke KASN sebagai bentuk partisipasi warga negara yang peduli pada penegakan aturan. Kenapa harus minta maaf?" kata Shinta saat ditanya apakah berencana menemui atau meminta maaf pada Din Syamsuddin.

 

Hingga saat ini, Shinta menyebut laporan terhadap Din Syamsuddin masih berada di tangan Satgas Antiradikalisme dan Kemenag. 

 
Berita Terpopuler