Pengamat Politik: Tindakan GAR-ITB Cenderung Ngawur

Sikap yang dilakukan GAR-ITB ini merupakan pembunuhan karakter terhadap seseorang.

Republika TV/Surya Dinata
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Din Syamsudin
Rep: Haura Hafizhah Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Politik dari Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Ujang Komarudin mengatakan, pelaporan yang dilakukan Gerakan Anti Radikalisme Alumni ITB (GAR-ITB) terhadap Din Syamsuddin itu, tidak berdasarkan apa-apa  dan cenderung ngawur. Sebab, rekam jejak Din tidak ada yang ke arah radikal. Maka dari itu, kasus ini harus diselesaikan secepat mungkin.

Baca Juga

“GAR-ITB itu tidak suka dengan orang yang mengkritik pemerintah. Makanya, dia laporkan Din ke KASN dan BKN. Padahal kan, kritik itu bukan memusuhi negara dan pemerintah," katanya saat dihubungi Republika, Jumat (19/2). 

"Din melakukan kritik karena Din cinta sama negaranya. Eh yang dikritik malah panas terus melapor dan ingin membungkam Din agar tidak terlalu menonjol untuk membuat kritik,” katanya lagi.

Baca Juga:

Dia menegaskan, sikap yang dilakukan GAR-ITB ini merupakan pembunuhan karakter terhadap seseorang. Hal ini berbahaya jika terus dibiarkan. GAR-ITB ini juga organisasi yang tidak resmi dan tidak diakui oleh ITB. GAR-ITB ini hanya terbentuk di grup WhatsApp dan tidak ada badan pengurusnya. 

“Ya ini ada orang-orang yang terafiliasi kekuasaan. Atas nama GAR-ITB itu melaporkan Din. Masyarakat bisa menerima kalau tuduhannya bukan radikal. Tapi ini tuduhannya radikal. Semua mempertanyakan laporan itu? seperti Muhammadiyah, NU dan sebagainya,” kata dia.

Dia menambahkan, Din merupakan dosen yang merupakan seorang pendidik. Bahkan, mantan ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah dua periode itu juga seorang guru besar. Menurutnya, sikap kritis Din tidak melanggar apalagi ASN-nya kan dosen, seorang guru besar pula. Wajar jika mengkritik yang terjadi di pemerintahan.

“GAR-ITB ini salah sasaran jika menuduh Din radikal. Masa seorang guru besar tidak boleh mengkritik terkait persoalan bangsanya. GAR-ITB ini kelihatan sekali memberi peringatan pada Din. Tapi respon Din juga santai saja toh dia tidak merasa radikal,” kata dia.

 

 

Karenanya, dia menyarankan, siapapun yang sedang berkuasa jangan sembarangan untuk menuduh orang kalau mereka radikal. Hal ini yang harus diubah. Dia tidak habis pikir kritik terhadap pemerintah merupakan hal yang radikal.

“Yang saya baca di media massa kalau Juru Bicara Presiden Joko Widodo Fadjroel Rachman dan Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung terlibat di GAR-ITB. Ya bisa dipikir sendiri dimana ada kekuasaan disitu bisa membatasi. Masalah ini juga tidak dilanjutkan karena Menkopolhukam tidak akan memproses laporan tersebut. Mahfud tahulah Din seperti apa. Mereka sama-sama profesor dan dosen. Jadi, bisa dibilang tuduhan ini sama sekali tidak berdasar,” kata dia.

Sebelumnya diketahui, sejumlah tokoh dari kalangan Muhammadiyah, PBNU, politisi hingga pejabat menentang pelaporan Din Syamsuddin ke KASN oleh GAR ITB. Pembelaan tersebut menyoal Din Syamsuddin yang diklaim GAR ITB telah melakukan pelanggaran kode etik dan kode perilaku ASN. 

Pelaporan itu awalnya dilakukan oleh GAR ITB yang dengan bersurat ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Ketua Majelis Wali Amanat ITB. Isinya, meminta Din diberhentikan dari anggota MWA ITB. 

Dalam lampiran surat, setidaknya ada 1.335 nama yang diklaim alumni ITB dari berbagai jurusan. Mulai dari angkatan 1957 hingga 2014. Alasan yang digunakan GAR ITB itu, hampir sama dengan isi surat kepada KASN dan BKN. 

GAR ITB kembali menilai Din telah bersikap konfrontatif terhadap lembaga negara dan keputusannya. Klaim tersebut merujuk pada pernyataan Din yang dianggap melontarkan tuduhan tentang adanya ketidakjujuran dalam proses peradilan MK di Pilpres 2019 lalu.

 

Selama ini, Din memang kerap melontarkan kritik tajam ke pemerintah. Din merupakan deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) bersama eks Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo dan tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Prof Rochmat Wahab.

 
Berita Terpopuler