Imlek Era Kolonial Hingga Milenial

Perayaan Imlek diperbolehkan di zaman kolonial, meski sempat dilarang di era Soeharto

nationsonline.org
Suanasa kemeriahan perayaan Imlek. Anak-anak gembira bermain petasan dan kembang api.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Meiliza Laveda

JAKARTA -- Orang Tionghoa tiba di Indonesia sudah berabad-abad yang lalu. Beberapa catatan sejarah ada yang mengungkapkan mereka tiba di Indonesia pada abad ke-5. Karena sudah lama, banyak tradisi orang Tionghoa yang diterapkan secara turun-temurun termasuk saat Belanda menguasai Nusantara.

Dosen Program Studi Belanda Universitas Indonesia, Achmad Sunjayadi mengatakan pelarangan perayaan Imlek masyarakat Tionghoa di Hindia-Belanda bukan pelarangan pada perayaannya melainkan acaranya. Misal, menyalakan kembang api dan arak-arakan barongsai di jalan.

“Pelarangan ini sudah dikeluarkan sejak masa VOC pada abad ke-17 seperti pelarangan kembang api. Hal ini terkait bahaya kebakaran mengingat pada masa itu masih banyak atap rumah-rumah penduduk yang terbuat dari rumbia yang mudah terbakar. Sedangkan arak-arakan barongsai di jalanan terkait ketertiban,” kata Achmad kepada Republika.co.id, Kamis (11/2).


Pada periode berikutnya, terjadi peristiwa Chinezenmoord (pembantaian orang Cina) atau Geger Pacinan pada bulan Oktober 1740 di Batavia. Peristiwa tersebut tentu berpengaruh terhadap perayaan Imlek.

Warga Tionghoa di Hindia-Belanda memang secara rutin merayakan Imlek sebagai perayaan pergantian tahun. Perayaan Imlek merupakan pesta menyambut kedatangan musim semi. Karena mayoritas penduduk Cina adalah petani, maka mereka merasa musim semi sebagai awal kehidupan kembali setelah melalui musim dingin.

Achmad menjelaskan akibat peristiwa 1740, gerak warga Tionghoa sangat dibatasi oleh pemerintah VOC. Bahkan VOC sampai membuat sistem pembagian wilayah bagi warga Tionghoa. Mereka menempatkan warga Tionghoa di tempat-tempat tertentu atau Chinesewijk supaya mudah diawasi. Aturan ini dikenal dengan wijkenstelsel yang melarang warga Tionghoa tinggal di luar wilayah mereka.

Bahkan pada masa Hindia-Belanda, pada 1816 dikeluarkan peraturan Passenstelsel yaitu peraturan yang mengharuskan orang Tionghoa membawa kartu pas jalan jika mereka ingin melakukan perjalanan ke wilayah di luar tempat tinggalnya. Pada 1828 dikeluarkan aturan baru yang menetapkan jika ada 25 keluarga (rumah tangga) Cina di dalam sebuah kampung, maka mereka akan ditempatkan tersendiri di bawah kepala kampung Cina dan membentuk Chinesewijk.

“Peraturan ini diterapkan hampir di seluruh wilayah di Hindia. Di dalam wilayah mereka itu, perayaan Imlek dapat diselenggarakan tanpa menganggu wilayah lainnya. Contohnya pada 1920 di Chinesewijk di Makassar, Sulawesi Selatan diselenggarakan semacam lomba panjat pinang dalam merayakan Imlek,” ujar dia.

Baca Juga

Sementara itu, saat Jepang menduduki Indonesia, pemerintahan Jepang berdasarkan keputusan Osamo Seirei No. 26 tanggal 1 Agustus 1943, warga Tionghoa diberikan kebebasan untuk melakukan berbagai perayaan budaya dan agama di Indonesia termasuk merayakan Imlek. Terlebih, perayaan Imlek dijadikan hari libur resmi. Hal ini tentu berkaitan dengan hubungan Jepang dan Cina. Jepang lebih melihat Belanda dan negara-negara Eropa kecuali Jerman dan Italia sebagai negara musuh.

Saat Indonesia merdeka dan di bawah pemerintahan Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno, perayaan Imlek juga diizinkan. Pada masa Revolusi, Presiden Soekarno mengeluarkan pengumuman boleh mengibarkan bendera Tiongkok dalam setiap perayaan Tionghoa.

Lebih lanjut, Achmad mengatakan diizinkannya perayaan Imlek pada masa Soekarno berhubungan dengan politik. Pada masa itu, Presiden Soekarno sedang membangun persahabatan dengan pemerintah Tiongkok.

"Presiden Soekarno mengeluarkan Ketetapan Pemerintah Nomor 2/OEM tahun 1946 mengenai Hari Raya Umat Beragama. Pada butir pasal 4 disebutkan bahwa Tahun Baru Imlek, Ceng Beng (berziarah dan membersihkan makam leluhur), hari lahir, dan wafatnya Khonghucu sebagai hari libur,” ucap dia.

Namun, pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres No. 14 tahun 1967 tentang Pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tiongkok. Inpres tersebut menyatakan melarang perayaan Imlek di depan publik dan hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruang tertutup.

“Kebijakan ini diberlakukan karena pemerintah Orde Baru khawatir munculnya kembali ajaran komunis melalui etnis Tionghoa. Apalagi terhadap mereka yang memiliki hubungan dengan negeri Tiongkok,” kata dia.

Menurut Prof. Arief Budiman, pangkal peraturan tersebut adalah persaingan antara Angkatan Darat dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Saat itu, PKI berhubungan erat dengan Republik Rakyat Cina. Berdasarkan hal itu, Pemerintahan Orde Baru mengidentikkan komunis dengan Cina.

Perizinan kembali perayaan Imlek diterapkan saat Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjabat. Pada tanggal 17 Januari 2000, dia mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyakat Tionghoa dapat kembali merayakan adat istiadatnya.

Barulah pada tahun 2002, saat Presiden Megawati Soekarnoputri menjabat dikeluarkan Keppres No.19/2002 tentang Hari Tahun Baru Imlek. Di Keppres tersebut, Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional.

 
Berita Terpopuler