Perempuan Unjuk Rasa di Myanmar Kritis Tertembak di Kepala

Perempuan yang ikut aksi unjuk rasa di Myanmar dilaporkan tertembak peluru tajam.

EPA-EFE/NYEIN CHAN NAING
Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan di depan petugas polisi anti huru-hara selama protes menentang kudeta militer, di Yangon, Myanmar, Selasa (9/2). Ribuan orang terus melakukan unjuk rasa di Yangon meskipun ada peringatan keras dari militer setelah beberapa hari protes massal.
Rep: Lintar Satria Zulfikar Red: Yudha Manggala P Putra

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Seorang perempuan dilaporkan dalam kondisi kritis setelah tertembak di kepala saat ikut berunjuk rasa di Myanmar. Dokter di ibu kota Naypyitaw, Myanmar menyebut kemungkinan hidup perempuan tersebut sangat kecil.

Berdasarkan media sosial yang diverifikasi kantor berita Reuters, Selasa (9/2), perempuan tersebut bersama pengunjuk rasa berdiri agak jauh dari barisan polisi antihuru-hara. Lalu polisi menembakkan water cannon dan terdengar sejumlah suara tembakan senjata api.

Perempuan tersebut, memakai helm sepeda motor, tiba-tiba tersungkur. Berdasarkan foto di helmnya terlihat lubang yang diduga tertembus peluru. Ia disebut sebagai salah satu pengunjuk rasa yang menentang kudeta militer 1 Februari lalu.

Baca Juga

Unjuk rasa berlangsung setelah militer mengambil alih kekuasaan secara paksa dengan mengklaim pemilu yang dimenangkan partai berkuasa National League for Democracy (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi diwarnai kecurangan. Komisi Penyelenggara Pemilu Myanmar membantah tuduhan tersebut. Saat kudeta berlangsung partai Suu Kyi itu baru saja memulai periode kedua mereka.

Selasa (9/2) malam kemarin polisi menggerebek markas pusat NDL di Yangon selama jam malam yang diberlakukan militer. Salah seorang anggota parlemen mengatakan penyerbuan itu dilakukan oleh puluhan personel polisi yang memaksa masuk.

Unjuk rasa tidak hanya dilakukan masyarakat di jalan-jalan. Masyarakat yang bekerja di rumah sakit, sekolah dan kantor pemerintah juga melakukannya dengan cara aksi mogok. 

Selain menolak kudeta, masyarakat Myanmar juga menuntut konstitusi 2008 yang dirancang militer dicabut. Konstitusi itu memberi jenderal kewenangan memveto parlemen dan menguasai sejumlah kementerian.

Suu Kyi, pemenang Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1991 dan pemimpin de facto Myanmar berdasarkan pemilu, saat ini ditahan. Ia didakwa mengimpor enam walkie-talkies secara ilegal dan akan tetap ditahan hingga 15 Februari. Pengacaranya hingga kini mengatakan tidak dapat menemui Suu Kyi.

 
Berita Terpopuler