Kedelai Lokal yang Dipandang Sebelah Mata

Rekayasa pembenihan bisa membantu mewujudkan swasembada kedelai.

MUHAMMAD BAGUS KHOIRUNAS/ANTARA
Pekerja memproduksi tahu di Rangkasbitung, Lebak, Banten, Rabu (6/1/2021). Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan pihaknya akan melipatgandakan produksi kedelai dalam negeri dalam waktu 200 hari atau dengan dua kali masa tanam sebagai upaya mengatasi lonjakan harga kedelai di pasar global.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arie Lukihardianti, Dedy Darmawan Nasution, Dadang Kurnia, Antara

Kisruh akibat 'menghilangnya' tahu tempe di awal tahun 2021, bukan hal baru. Sebagai negara dengan konsumsi kedelai yang tinggi seharusnya Indonesia bisa mandiri memenuhi kebutuhan kedelainya sendiri.

Peneliti kedelai yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), Achmad Baihaki, mengatakan Indonesia seharusnya bisa lepas dari jerat impor kedelai. Karena, menurut Baihaki, Indonesia sejatinya memiliki varietas kedelai yang lebih unggul dibandingkan produk impor, yaitu Kedelai Arjasari.

Hasil panen Kedelai Arjasari juga cukup baik, rata-rata mencapai 2,34 ton per hektare. “Bahkan, di salah satu pulau di Indonesia Timur, hasil panennya bisa mencapai 4,48 ton per hektare, jauh di atas kedelai impor,” ujar Baihaki kepada wartawan belum lama ini.

Baihaki menjelaskan, kedelai Arjasari per 100 butirnya lebih berat dari kedelai impor, mencapai 19,24 gram. Begitu juga kandungan proteinnya, yang juga sangat tinggi, mencapai 43,16 persen.

“Kedelai Arjasari adalah salah satu kedelai hasil penelitian saya yang dikembangkan di kebun percontohan Fakultas Pertanian di Arjasari, Kabupaten Bandung dan sudah dilepas secara resmi oleh pemerintah ke pasaran beberapa tahun lalu,” katanya.

Namun, kata dia, persoalannya, adalah sebagian masyarakat Indonesia memandang sebelah mata terhadap kedelai lokal. Mereka lebih menyukai kedelai impor.

“Pengrajin tahu dan tempe banyak yang menyepelekan kedelai lokal. Mereka lebih memilih kedelai impor. Padahal produk lokal jauh lebih unggul dari produk impor,” katanya.

Baihaki dan tim menghasilkan varietas unggul tersebut setelah kuliah selama 4 tahun di Minnesota, Amerika Serikat (AS). Minnesota adalah negara bagian di AS yang merupakan penghasil utama kedelai.

“Saya belajar dari para ahli kedelai di sana. Belajarnya pun lama. Hasil penelitiannya jauh lebih unggul dari produk sejenis yang ada di pasar global. Masalahnya hanya tinggal penghargaan dari masyarakat Indonesia,” katanya.

Dalam kondisi tersebut, kata dia, yang harus dilakukan pemerintah untuk mencapai swasemba kedelai adalah komitmen dan keberpihakan. Yakni, pemerintah harus betul-betul melakukan aksi nyata, bukan sekedar wacana.

“Pemerintah juga harus mengampanyekan cinta produk lokal. Sementara masyarakat serta pengrajin tahu tempe harus menghargai produk lokal dan mulai mengubah pola pikirnya tentang kedelai lokal,” papar Baihaki.

Selain itu, kata dia, pemerintah harus memberi jaminan serapan produk kedelai lokal. Dengan demikian, petani akan bersemangat untuk kembali menanam  dan memproduksi kedelai.

Berdasarkan berita terbaru, kata dia, saat ini Indonesia baru memenuhi 30 persen kebutuhan kedelai. "Kita bisa swasembada, pasti bisa, tinggal tekad dan komitmen semua pihak. Lahan tersedia cukup luas,” paparnya.

Peneliti ternama kedelai AS saja, kata dia, sengaja datang ke Indonesia Timur untuk mencari varietas kedelai liar. Ironisnya, Indonesia justru lebih mengutamakan kedelai impor.

Ketua Harian DPD Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Entang Sastraatmadja, juga meyakini Indonesia mampu swasembada kedelai. Namun untuk mewujudkan perlu grand design tata laksana kedelai.

Menurutnya, dengan semakin majunya teknologi pertanian, bukan tidak mungkin Indonesia mencapai swasembada kedelai. Yakni, bisa menciptakan produk unggul yang sesuai dengan kondisi iklim Tanah Air.

“Kuncinya adalah komitmen dan keberpihakan pemerintah serta dunia usaha. Jika ada kepastian harga dan serapan pasar, petani kedelai pun tentu akan dengan semangat berproduksi, menanam kedelai,” katanya.

Entang mengatakan, dulu Indonesia memiliki sentra kedelai. Namun, karena harga dan serapannya yang tidak menentu, perlahan-lahan para petani kedelai tersebut beralih menanam komoditas lain.

“Ini adalah pekerjaan rumah bersama dan memang tidak bisa direalisasikan dalam waktu singkat, tapi bukan tidak mungkin direalisasikan,” katanya.

Upaya untuk meningkatkan pasokan kedelai dalam negeri masuk dalam tiga langkah Kementerian Pertanian untuk mengatasi masalah kedelai yang sedang mencuat. Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, menetapkan setidaknya dua langkah terkait kedelai dalam negeri.

Pertama, agenda temporer yakni dalam 200 hari kedepan produktivitas lokal harus ditingkatkan. Pemetaan produksi lokal antara yang dikonsumsi dan dijadikan bibit akan dibenahi sehingga upaya untuk meningkatkan produksi bisa lebih terarah.

Syahrul melanjutkan, lalu pemerintah merancang strategi panjang agar Indonesia bisa menyuplai sendiri kebutuhan kedelai secara mandiri. Harapannya, ketersediaan kedelai dapat stabil sekalipun terjadi gejolak di negara-negara pengekspor kedelai.

Selain dua langkah itu, pemerintah saat ini melakukan stabilisasi harga kedelai. "Agenda SOS yakni stabilisasi harga, pasokan tidak boleh ada yang terganggu sehingga ketersedian harus dipastikan aman. Harga tidak boleh terlalu turun dan tidak boleh terlalu naik," kata Syahrul di Jakarta, Kamis (7/1).

Ia mengatakan, langkah pertama SOS akan dilakukan dalam 100 hari ke depan. Caranya dengan melakukan gerakan stabilisasi harga lewat operasi pasar kedelai dengan harga Rp 8.500 per kilogram.

Rencananya dalam 100 hari pasokan dan harga kedelai bisa stabil khususnya di Pulau Jawa, berdasarkan surat edaran harga di pengrajin Rp.8.500 per kg. Harga tersebut ditetapkan dengan menekan harga distribusi. Dari importir kedelai akan langsung didrop ke pengrajin.






Baca Juga

Wakil Ketua Umum Bidang Pertanian dan Pangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Edi Purwantom, mengatakan fluktuasi harga kedelai impor hanya bisa dituntaskan dengan perbaikan produktivitas kedelai lokal. Edi menjabarkan, sepanjang 2020 produksi kedelai lokal secara nasional hanya 320 ribu ton. Sementara kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,5 juta ton per tahun.

Sedangkan produksi kedelai Jatim pada 2020 sekitar 57.235 dengan kebutuhan kedelai Jatim mencapai 447.912 ton per tahun. "Kekurangan tersebut pastinya diperoleh dari impor. Dan jumlahnya sangat besar," ujarnya, Rabu (6/1).

Edi kembali menegaskan, kebangkitan petani kedelai lokal menjadi sebuah keniscayaan untuk menghilangkan ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor. Terlebih saat ini, sudah ada perusahaan lokal yang berhasil mengembangkan benih kedelai kualitas unggul dengan produktivitas yang cukup tinggi di Jember.

Edi menjelaskan, kedelai bukan merupakan tanaman tropis, sehingga produktivitasnya rendah jika ditanam di Indonesia. Jika di Amerika produktivitas tanaman kedelai bisa mencapai 5 ton per hektare, di Indonesia produktivitasnya hanya mencapai 1,3 ton hingga 1,5 ton per hektare.

"Tapi dengan rekayasa pembenihan, produktivitas benih kedelai kualitas unggul di Jember ini bisa mencapai 3 ton hingga 3,2 ton per hektare," kata Edi.

Edi mengatakan, ada beberapa faktor kenapa kedelai lokal tidak diminati, baik oleh petani maupun oleh pengrajin tahu dan tempe. Pertama produktivitas kedelai lokal rendah, hanya sekitar 1,3 ton per hektare. Sementara biaya pengolahan tinggi, sehingga petani lebih memilih menanam padi dan jagung yang dianggap lebih menguntungkan.

"Di sisi lain, pengrajin tempe dan tahu juga kurang berminat karena kualitas dianggap rendah, biji kedelai kecil dan tidak rata serta kulit ari keras sehingga membutuhkan waktu lama dalam proses peragian," kata Edi.

Sebenarnya, swasembada kedelai bukan tidak pernah terjadi di Indonesia. Pada tahun 1992 Indonesia pernah mencapai swasembada kedelai.

"Pada tahun 1992 Indonesia pernah melakukan swasembada kedelai, saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun. Ini ada peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani," kata Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina dalam keterangan tertulisnya.

Menurut Nevi Zuairina, meredanya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China diduga menjadi salah satu faktor dari penyebab kenaikannya harga komoditas kedelai tersebut. Hal tersebut, lanjutnya, karena Indonesia yang sebagian besar kedelainya bergantung pada pasokan dari AS, menjadi terdampak ketika China memborong kedelai AS.

"Momentum baiknya hubungan dagang AS-China yang berakibat pada kenaikan harga kedelai harus dimanfaatkan pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri," papar Nevi. Untuk itu, ujar dia, pemerintah diharapkan dapat memperbaiki tata niaga kedelai dalam negeri.

Ia mengingatkan bahwa para pelaku industri tahu dan tempe sangat terbebani dengan adanya kenaikan harga kedelai yang mencapai hampir sebesar 50 persen pada awal tahun 2021 ini. BPS mencatat produk olahan dari kedelai yakni tahu dan tempe mengalami inflasi pada Desember 2020 masing-masing 0,06 dan 0,05 pesen, menyusul kenaikan harga kedelai di pasar global.




 
Berita Terpopuler