Misteri Hilangnya Tahu-Tempe dan Kitab Al Filaha

Tahu-Tempe dan Kitab Al Filaha

google.com
Kitab Al Filaha
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek Panji Astuti, Penulis dan traveler.

Pekan pertama di bulan Januari ini kita diributkan dengan kabar menghilangnya tempe dan tahu dari pasar. Ini bukan kali pertama sebenarnya. Dari tahun ke tahun selalu berulang kejadian yang sama.

Pangkal masalahnya adalah melonjaknya harga kedelai impor yang menjadi bahan baku makanan yang diandalkan sebagai sumber protein mayoritas rakyat Indonesia ini.

Logikanya jadi aneh memang. Tempe dan tahu dianggap sebagai makanan rakyat. Nyaris di setiap meja makan terhidang menu itu setiap hari, karena dianggap paling murah dibanding sumber protein hewani.

Tapi, di negeri yang konon gemah ripah loh jinawi ini petaninya tak mampu menghasilkan kedelai yang bisa digunakan sebagai bahan baku tahu dan tempe.  

Apa yang salah?

Padahal ayat-ayat  Alqur’an sudah sangat jelas. Salah satunya, "Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit), kemudian Kami belah bumi dengan sebaik-baiknya, lalu Kami tumbuhkan biji-bijian di bumi itu [QS 'Abasa 25-27].

Kedelai termasuk biji-bijian yang “dijamin” ditumbuhkan di atas bumiNya. Secara teori pertanian pun, biji-bijian termasuk tanaman yang tidak membutuhkan waktu lama untuk tumbuh.

Rasanya hampir mustahil bumi Indonesia tidak bisa menghasilkan kedelai yang mencukupi, baik secara kualitas maupun kuantitas untuk bahan baku tahu dan tempe.

Curah hujan di negeri ini lebih dari cukup untuk menyuburkan tanahnya. Daerah yang dianggap paling tandus sekalipun, seperti NTT, curah hujannya masih 1.000 mm/tahun. Lalu di Jawa, seperti Gunung Kidul masih 1.900 mm/tahun.

Bandingnya dengan curah hujan di Andalusia yang hanya 650 mm/tahun. Namun tanahnya bisa diolah sedemikian rupa hingga menghasilkan panen empat kali setahun. 

Sesuatu yang tidak terbayangkan oleh masyarakat Eropa pada masa itu yang hanya mampu panen setahun sekali, bahkan di beberapa tempat ada yang dua tahun sekali. 

 

 

 

 

 

Apa yang dilakukan? Para ahli pertanian di Andalusia menemukan berbagai teknik bercocok tanam yang sangat mumpuni bersumber dari Alqur’an.

Ilmu itu lalu dikumpulkan dalam sebuah kitab berjudul “Al Filaha” yang ditulis oleh Ibnu Awwam. Sejatinya kitab itu bukan hanya ditulis Ibnu Awwam seorang diri. Melainkan kitab itu telah ditulis sambung menyambung oleh pada ilmuwan sebelumnya sepanjang empat abad lamanya. Dari abad 2 hijrah sampai 6 H.

Kitab itu menulis dengan rinci bagaimana cara memakmurkan bumi Allah yang diamanahkan pada manusia. Dari cara menghidupkan lahan yang telah mati, urutan menanam, jenis tanaman, cara memanen, hingga budidaya tanaman yang sebelumnya tak dikenal di daratan Eropa.

Seperti pohon zaitun yang dibawa dari bumi Syam. Pohon zaitun yang usianya bisa sampai ratusan tahun, bahkan di negeri Syam yang diberkahi usia pohon zaitun ada yang sampai dua ribu tahun, berhasil mendongkrak kemakmuran Andalusia hingga hari ini!

Setelah lebih dari 500 tahun Islam meninggalkan Andalusia, Spanyol tercatat dalam daftar 6 negara penghasil minyak zaitun terbesar di dunia, bersama dengan Maroko, Tunisa, Turki, Yunani dan Italia.

Pada saat Andalusia jatuh ke tangan Issabel dan Ferdinand, terjadi penjarahan serta pembakaran kitab-kitab ilmuwan Muslim yang tak ternilai harganya. Namun, kitab “Al Filaha” termasuk yang diselamatkan, karena mereka tahu, kitab ini penting untuk kelangsungan hidup mereka.

Jadilah kitab itu selama 4 abad masih digunakan dalam bahasa aslinya, yakni bahasa Arab. Baru di tahun 1800-an kitab itu diterjemahkan dalam bahasa Spanyol. Dan baru di awal tahun 1900-an diterjemahkan dalam bahasa Inggris.

Menariknya, di abad modern ini kitab “Al Filaha” telah ditemukan terjemahannya dalam bahasa Cina. Entah dari mana mereka menemukannya. Dan yang saya tahu, ada seorang pengusaha Muslim yang tengah mengupayakan menerjemahkan kitab ini ke dalam bahasa Indonesia.

Barangkali kalau para pembuatan kebijakan pertanian di negeri ini menggunakan kitab Al Filaha sebagai acuan, kita tak perlu lagi impor kedelai, dan tak ada lagi cerita tahu-tempe yang mendadak hilang dari meja makan. 

 

 
Berita Terpopuler