LBM PBNU Belum Putuskan Soal Kehalalan Vaksin Sinovac

Sulit mendapatkan informasi bahan yang digunakan dalam vaksin Sinovac.

Antara/Ahmad Subaidi
LBM PBNU Belum Putuskan Soal Kehalalan Vaksin Sinovac. Petugas melakukan proses bongkar muat truk pengangkut vaksin COVID-19 Sinovac di kantor Dinas Kesehatan Provinsi NTB, Mataram, NTB, Selasa (5/1/2021). Sebanyak 28.760 dosis vaksin COVID-19 Sinovac tahap pertama untuk tenaga kesehatan NTB tersebut akan disimpan di ruang pendingin terlebih dahulu sebelum didistribusikan.
Rep: Umar Mukhtar Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU), Sarmidi Husna, menyampaikan turut melakukan kajian terhadap kehalalan vaksin Covid-19 asal China Sinovac. Kajian ini digelar dengan mengundang Biofarma dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Baca Juga

"LBM sudah beberapa kali, dua kali, melakukan kajian terkait vaksin Covid-19. Dan juga sudah mengundang Biofarma dan BPOM RI, untuk menjelaskan bahan atau komponen vaksin Sinovac, karena yang kita kaji adalah Sinovac," kata dia dalam diskusi daring bertajuk 'Kehalalan & Keamanan Vaksin Covid-19', Selasa (5/1).

Namun, Sarmidi mengakui, sulit mendapatkan informasi mengenai komponen atau bahan yang digunakan dalam proses memproduksi vaksin Sinovac. "Sulit sekali. Dan Biofarma juga belum menyampaikan apa komponennya, sehingga kami sampai sekarang belum memutuskan terkait keputusan Bahtsul Masail tentang vaksin Covid-19 ini," tuturnya.

Sarmidi dalam kesempatan itu menjelaskan, pada dasarnya vaksin harus halal dan suci. Haram hukumnya menggunakan vaksin yang berbahan haram dan najis. Namun, diperbolehkan menggunakan vaksin tersebut jika dalam kondisi darurat dan tidak ditemukan vaksin yang halal dan suci.

"Vaksinasi hukumnya wajib bagi orang yang jika tidak divaksinasi akan menyebabkan penyakit berat yang mengancam jiwa berdasarkan pertimbangan ahli," ujarnya.

 

Dalam forum diskusi yang digelar Alinea.id itu, turut hadir Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari BPOM Lucia Rizka Andalucia. Dia memberi penjelasan tentang ihwal Emergency Use Authorization (EUA) sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Badan POM Nomor 27 Tahun 2020.

"EUA merupakan persetujuan penggunaan obat selama kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat untuk obat yang belum mendapatkan izin edar atau obat yang telah mendapatkan izin tetapi dengan indikasi penggunaan yang berbeda (indikasi baru) untuk kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat," ujar dia.

Di dalam aturan tersebut juga diatur, pengecualian obat yang beredar tanpa izin edar, di antaranya adalah pemasukan obat untuk penggunaan khusus dan penggunaan darurat obat selama kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat. Namun dia menekankan, EUA bukanlah izin edar dan digunakan serta didistribusikan secara terbatas.

EUA diberikan dengan kondisi atau persyaratan yaitu harus melaksanakan uji klinik dan pemantau farmakovigilans secara ketat. EUA juga diberikan untuk tenaga kesehatan dan pasien dengan menyertakan informasi produk. "Badan POM juga bisa meninjau kembali persetujuan EUA bila ada update data terbaru," imbuhnya.

Lucia memaparkan, persetujuan EUA diberikan dengan mempertimbangkan rasio kemanfaatan dan risiko secara komprehensif berdasarkan seluruh data mutu, nonklinik, dan klinik, serta risiko kondisi kesehatan masyarakat yang ditimbulkan oleh penyakit penyebab pandemi.

 

"Persetujuan EUA adalah salah satu bentuk izin yang diberikan oleh regulator obat untuk mempercepat akses obat, termasuk vaksin tanpa mengesampingkan pemenuhan aspek keamanan, khasiat, dan mutu," ungkapnya.

 
Berita Terpopuler