Menteri Pakistan Kecam Perlakuan Prancis pada Warga Muslim

Tindakan Keras Prancis dinilai menargetkan umat Muslim.

EPA-EFE/Shahzaib Akber
Menteri Pakistan Kecam Perlakuan Prancis pada Warga Muslim. Umat Muslim Pakistan menggelar aksi protes mengecam sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait karikatur yang menghujat Nabi Muhammad SAW serta menyerukan aksi boikot produk Prancis di Karachi, Selasa (27/10).
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

IHRAM.CO.ID, ISLAMABAD -- Menteri Hak Asasi Manusia Pakistan Shireen Mazari mengecam langkah-langkah keras Prancis yang menargetkan Muslim minoritas. Awalnya, Mazari mengunggah di Twitter setelah munculnya laporan awal yang diedarkan oleh beberapa media bahwa Prancis bermaksud memberikan nomor identifikasi unik kepada siswa Muslim dalam upaya menghentikan penyebaran ekstremisme.  

Baca Juga

"Macron melakukan kepada Muslim seperti yang dilakukan Nazi terhadap orang Yahudi, anak-anak Muslim akan mendapatkan nomor ID (anak-anak lain tidak akan) seperti orang Yahudi yang dipaksa untuk mengenakan bintang kuning di pakaian mereka untuk identifikasi," ujar Mazari dalam unggahannya di Twitter, dilansir di TRT World, Selasa (24/11).

Meskipun laporan tersebut tidak benar, dan semua siswa akan mendapatkan nomor identifikasi unik, tindakan Prancis tersebut telah dikemukakan dengan sebelah mata pada populasi Muslim di negara itu. Namun, Mazare kemudian menghapus unggahan tersebut, sebelum mengeluarkan kecaman lain atas perlakuan Prancis terhadap wanita Muslim.

Sebelumnya, Muslim di Pakistan juga menyerukan protes dan pemboikotan barang-barang Prancis sebagai tanggapan atas perlakuan negara itu terhadap umat Muslim di sana. Menyusul tiga serangan teroris di Prancis dalam kurun waktu satu bulan, Macron memang bersikap lebih keras dengan mengumumkan serangkaian langkah yang akan mengatasi apa yang dia sebut 'separatisme Islam'. Istilah demikian dianggap tidak jelas dan membuat bingung siapa kelompok sasarannya.

Bagi beberapa analis, tampak praktik normatif sehari-hari dari umat Islam tengah mendapat sorotan. Dengan latar belakang ini, pemerintah Macron mengumumkan pembatasan pada pembelajaran di rumah (home schooling) dan memberikan semua anak nomor identifikasi.

"Kita harus menyelamatkan anak-anak kita dari cengkeraman kaum Iislamis," kata Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin menyusul pengumuman tersebut.

 

Pernyataan seperti ini membuat banyak orang beranggapan target Prancis yang sebenarnya dalam menyusun undang-undang ini adalah warganya yang beragama Islam. Perlakuan Prancis terhadap Muslim telah menjadi sorotan dalam beberapa pekan terakhir.

Beberapa pihak berpandangan pemerintahan Macron ingin menunjukkan dia keras dalam hukum dan ketertiban dalam upaya untuk mengalahkan Marie Le Pen, calon presiden untuk pemilu 2022. Paris juga dikejutkan oleh meningkatnya kritik yang dihadapinya, karena negara itu telah melemparkan jaring pada populasi Muslimnya.

Muslim juga menderita karena ketidakmampuan dalam mengajukan tuntutan hukum. Seorang pakar hukum Prancis menuduh pemerintah memanfaatkan pengumuman publik itu dalam upaya merayu para pemilih sayap kanan, konservatif serta bagian tertentu dari sayap kiri.

Dalam sebuah celah besar, ada laporan yang dianggap menyesatkan atau tidak benar secara faktual tentang apa sebenarnya isi RUU tersebut. Namun, ada juga kenyataan hidup yang lebih kelam bagi Muslim di Prancis.

Sebuah laporan baru-baru ini mengungkapkan, polisi Prancis menggerebek rumah anak-anak Muslim dan menangkap mereka setelah mereka menyatakan ketidaksepakatan atas kartun yang menggambarkan Nabi Muhammad yang dicetak oleh majalah satir Prancis Charlie Hebdo.

Laporan Amnesty International baru-baru ini mengatakan beberapa ketentuan yang diusulkan oleh pemerintahan Macron mengancam akan memiliki efek mengerikan pada para pembela hak asasi manusia dan organisasi masyarakat sipil. Pemerintah Prancis juga sedang mempertimbangkan pembubaran badan hak asasi manusia CCIF yang memantau dan melaporkan islamofobia.

Langkah ini akan menjadi tamparan untuk melacak keadaan buruk yang sedang berlangsung dari umat Muslim di negara yang telah mengalami peningkatan serangan dan diskriminasi yang lebih luas itu. Amnesty International mengatakan, Pembubaran CCIF akan menjadi pukulan bagi hak kebebasan berserikat dan memiliki efek mengerikan bagi semua pembela hak asasi manusia yang terlibat dalam memerangi rasialisme dan diskriminasi.

 

Otoritas Prancis sampai saat ini gagal memberikan bukti apa pun yang dapat membenarkan pembubaran organisasi tersebut. "Tidak ada yang menunjukkan CCIF adalah bahaya yang jelas dan akan segera terjadi bagi keamanan nasional atau ketertiban umum, yang dapat membenarkan pembubarannya," kata Amnesty International.

 
Berita Terpopuler