Komisi X DPR Minta Pemerintah Lebih Serius Cegah Kekerasan di Sekolah

Peran guru BK atau konselor di lingkungan sekolah sangat penting membantu siswa.

Selasa , 30 Jan 2024, 20:02 WIB
Komisi X DPR RI menegaskan kekerasan di dunia pendidikan tidak boleh dibiarkan tanpa penanganan tegas. (iustrasi)
Foto: MGIT3
Komisi X DPR RI menegaskan kekerasan di dunia pendidikan tidak boleh dibiarkan tanpa penanganan tegas. (iustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan yang dihimpun oleh Yayasan Cahaya Guru melalui pantauan pemberitaan media massa sepanjang 1 Januari-10 Desember 2023, ada 136 kasus kekerasan di lingkungan pendidikan. Kasus-kasus itu memakan korban sebanyak 339 orang. Melihat itu, Komisi X DPR RI menegaskan kekerasan di dunia pendidikan tidak boleh dibiarkan tanpa penanganan tegas.

“Pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan pemerintah daerah melalui dinas pendidikan harus mendukung terbentuknya Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) di sekolah,” ucap Wakil Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjaifudian dalam keterangannya, Selasa (30/1/2024).

Baca Juga

Tim itu, kata dia, bisa menjadi solusi untuk membantu mengakselerasi terbentuknya suasana inklusif, aman, dan nyaman di lingkungan pendidikan. Dia menilai, TPPK dapat membuat tata tertib pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, mendorong pelaksanaan kegiatan sekolah yang berkebhinekaan dengan melibatkan kepsek, orang tua atau wali sekolah.

Bukan hanya itu, menurut dia, TPPK juga dapat melakukan sejumlah kegiatan. Mulai dari edukasi, sosialisasi dan kampanye daring di satuan pendidikan, mengajarkan pendidikan penguatan karakter dan memberikan fasilitas guru untuk mendapatkan pelatihan sekaligus peningkatan kapasitas diri dalam mencegah atau menangani kasus kekerasan di sekolah.

"Menyediakan bangunan, gedung dan fasilitas pembelajaran yang ramah bagi peserta didik penyandang disabilitas serta menyediakan kanal aduan. Lalu, memberikan saksi dan konsekuensi yang tidak melibatkan kekerasan atau memberikan nasihat pada anak tidak berupa makin, cacian, kata-kata kasar tetapi dengan ucapan yang lemah lembut," papar Hetifah.

Di sisi lain, politikus Partai Golkar itu berharap guru bimbingan dan konseling (BK) bisa lebih aktif di sekolah. Dia menilai, guru BK bisa dimaksimalkan dengan memberikan pelayanan berupa membimbing para pelajar untuk memiliki keterampilan sosial, memahami dan memecahkan masalah yang terjadi, serta membantu pelajar agar mengambil keputusan yang bertanggung jawab supaya menjadi manusia yang mandiri.

"Peran guru BK atau konselor di lingkungan sekolah sangat penting dalam membantu siswa mengatasi tantangan agar mudah meraih potensi penuh mereka," kata dia.

Kemendikbudristek telah menerbitkan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 guna menjadi payung hukum untuk pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan. Tidak ingin hanya sekadar jadi peraturan saja, Komisi X DPR RI mendorong pemerintah pusat dan pemerintah daerah bersinergi untuk menghapus tiga dosa besar pendidikan yakni kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat tiga aduan tertinggi pada klaster pendidikan, waktu luang, budaya, dan agama adalah aduan anak korban perundungan di satuan pendidikan tanpa laporan kepolisian (LP). Dari pengawasan KPAI pada beberapa kasus, bullying dan perundungan marak terjadi karena beberapa faktor.

“Kekerasan pada klaster pendidikan, waktu luang, budaya, dan agama sebanyak 329 kasus, dengan tiga aduan tertinggi yakni anak korban bullying atau perundungan di satuan pendidikan tanpa LP, anak korban kebijakan, anak korban pemenuhan hak fasilitas pendidikan,” ungkap Komisioner KPAI Aris Adi Leksono lewat keterangannya, Kamis (25/1/2024) lalu. 

Dia menyampaikan, pengawasan KPAI menunjukkan kekerasan bullying atau perundungan berakibat fatal, baik luka fisik permanen, trauma psikis, hingga menjadi penyebab kematian, yang mencapai 20 kasus. Selain itu, KPAI  juga mengidentifikasi modus bullying dan perundungan yang sering terjadi. Pertama, pelaku tidak hanya sendiri, cenderung melibatkan teman lain. Kedua, dilakukan secara sadis, terbuka, seakan merasa "bangga" tanpa malu dan tak takut akibatnya.

“Selain itu, ada upaya mendokumentasikan kekerasan yang dilakukan sehingga merasa bangga ketika viral dan berdampak secara psikis pada setiap yang menonton. KPAI juga menemukan masih ada warga satuan pendidikan menutupi kejadian bullying dan perundangan, karena dianggap akan merusak reputasi lembaga atau personalia di dalamnya,” kata dia.