RUU Kesehatan Resmi Hapus Pengeluaran Wajib 5 Persen untuk Kesehatan

Besaran anggaran kesehatan diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik.

Senin , 19 Jun 2023, 17:19 WIB
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin usai rapat pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU tentang Kesehatan di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (19/6/2023).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin usai rapat pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU tentang Kesehatan di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (19/6/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi IX DPR telah menetapkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Salah satu yang disepakati adalah dihapusnya mandatory spending atau pengeluaran wajib sebesar 5 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk sektor kesehatan.

Dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I, dua dari sembilan fraksi, yakni Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak RUU Kesehatan dibawa ke rapat paripurna. Keduanya menyoroti penghapusan mandatory spending dari APBN untuk kesehatan.

Baca Juga

"Kebijakan pro kesehatan yang telah ditetapkan minimal 5 persen dari APBN yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pada era Presiden ke-6 RI Bapak SBY hendaknya dapat ditingkatkan jumlahnya," ujar anggota Komisi IX Fraksi Partai Demokrat Aliyah Mustika Ilham dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RUU Kesehatan, Senin (19/6/2023).

Dalam Pasal 171 Ayat 1 dan 2 UU 36/2009 mengamanatkan, pemerintah mengalokasikan minimal 5 persen APBN dan minimal 10 persen APBD untuk kesehatan, di luar gaji. Besaran anggaran kesehatan tersebut diprioritaskan untuk kepentingan pelayanan publik.

Pelayanan publik tersebut meliputi pelayanan kesehatan baik pelayanan preventif, pelayanan promotif, pelayanan kuratif, dan pelayanan rehabilitatif. Tujuannya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

"Hal tersebut (penghapusan mandatory spending) semakin menunjukkan kurangnya komitmen politik negara dalam menyiapkan kesehatan yang layak, merata di seluruh negeri, dan berkeadilan bagi seluruh lapisan masyarakat," ujar Aliyah.

"Fraksi Partai Demokrat berpendapat bahwa mandatory spending sektor kesehatan masih sangat diperlukan dalam rangka menjamin terpenuhinya pelayanan kesehatan masyarakat dan dalam rangka mencapai tingkat IPM, indeks pembangunan manusia," sambungnya.

Kritik serupa juga disampaikan anggota Komisi IX Fraksi PKS Netty Prasetiyani yang menolak RUU Kesehatan disahkan menjadi undang-undang. Penghapusan mandatory spending dipandangnya sebagai sebuah kemunduran.

Padahal, mandatory spending dimaksudkan untuk menjamin pendanaan pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin. Selain itu, kebutuhan dana kesehatan Indonesia justru meningkat dari waktu ke waktu karena makin kompleksnya masalah kesehatan di masa mendatang.

Fraksi PKS berpendapat bahwa mandatory spending bagian paling penting dalam undang-undang tersebut. Karena semua hal yang dituliskan dalam RUU Kesehatan ini sangat tergantung dengan ketersediaan dana untuk pelaksanaannya.

"Bukan hanya penyebutan alokasi yang dibutuhkan, akan tetapi sangat dibutuhkan nilai yang cukup agar tidak sekadar ada. Karena jika sekadar ada, maka tidak akan menyelesaikan masalah kesehatan di Indonesia," ujar Netty.

Komisi IX telah menyelesaikan pembahasan rancangan undang-undang (RUU) tentang Kesehatan. Hari ini, mereka melakukan pengambilan keputusan tingkat I terhadap RUU yang menggunakan metode omnibus law tersebut.

"Kita perlu mengambil persetujuan bersama, apakah naskah RUU ini disepakati untuk ditindaklanjuti pada pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna?" tanya Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I RUU Kesehatan dijawab setuju.

Dengan ditetapkannya RUU Kesehatan dalam rapat pengambilan keputusan tingkat I itu, payung hukum yang bertujuan untuk menghadirkan transformasi layanan kesehatan itu dapat dibawa ke rapat paripurna DPR terdekat untuk disahkan menjadi undang-undang.