Permenaker Nomor 5/2023 Disebut Bertentangan dengan Undang-Undang

Dalam hubungan kerja golongan pekerja sangat sering berada dalam posisi paling rentan

Kamis , 30 Mar 2023, 11:37 WIB
Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, soroti Permenaker Nomor 5/2023 tentang Pengupahan yang membolehkan perusahaan ekspor memotong gaji karyawan sampai 25 persen. (ilustrasi)
Foto: Republika/Edi Yusuf
Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, soroti Permenaker Nomor 5/2023 tentang Pengupahan yang membolehkan perusahaan ekspor memotong gaji karyawan sampai 25 persen. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, soroti Permenaker Nomor 5/2023 tentang Pengupahan yang membolehkan perusahaan ekspor memotong gaji karyawan sampai 25 persen. Ia menilai, itu bertentangan dengan undang-undang.

Ia melihat, pekerja atau buruh selalu saja menjadi obyek yang terkena dampak ketika pemerintah membuat peraturan-peraturan untuk menyikapi situasi ekonomi. Beberapa waktu lalu, upah pekerja terkena penyesuaian atas alasan Covid-19.

Baca Juga

"Sekarang ada kebijakan pemotongan karena alasan perubahan ekonomi global," kata Netty, Kamis (30/3/2023).

 

Padahal, Netty menerangkan, dalam hubungan kerja, golongan pekerja sangat sering berada dalam posisi paling rentan. Artinya, seharusnya golongan ini mendapatkan perhatian dan perlindungan pemerintah, bukan malah menjadi obyek penderita.

Dalam Permenaker Nomor 5/2023 disebutkan perusahaan berorientasi ekspor akan bisa memotong gaji karyawan sampai 25 persen. Ini jadi tindak lanjut perubahan ekonomi global dengan ditandai turunnya permintaan ekspor dari AS dan Eropa.

Netty mempertanyakan fokus aturan yang dibuat pemerintah selalu pengurangan ongkos produksi yaitu upah pekerja. Padahal, jika Permenaker bisa membatasi upah pekerja 75 persen, bisa dibuat aturan yang membatasi keuntungan perusahaan.

Di sisi lain, ia berpendapat, Permenaker Nomor 5/2023 jelas melanggar Pasal 90 jo Pasal 185 UU Nomor 13/2003 dan Pasal 88E jo Pasal 185 UU Cipta Kerja. Jadi, Menaker membuat peraturan yang isinya sudah bertentangan peraturan di atasnya.

"Permenaker ini melanggar undang-undang dan peraturan pemerintah yang telah ditandatangani presiden, di mana kebijakan Presiden hanya ada upah minimum," ujar Netty.

 

Apalagi, dalam kondisi ekonomi seperti sekarang, kebijakan tersebut berdampak buruk karena merugikan pekerja dan mencederai rasa keadilan bagi pekerja. Selain itu, terbitnya Permenaker No 5/2023 menunjukkan seolah pemerintah lepas tangan.

"Pemerintah seolah lepas tangan begitu saja. Padahal, ada banyak cara yang bisa dilakukan. Kalau mau mengurangi biaya produksi perusahaan, pemerintah dapat mengurangi bea masuk bahan impor untuk produksi dan memberikan insentif pajak," kata Netty.

Netty turut menyoroti ketentuan pengupahan 75 persen baru bisa diterapkan jika adanya kesepakatan antara perusahaan dan pekerja. Ia mengingatkan, ketentuan ini jelas bisa menjadi pasal karet yang berpotensi jadi bahan perselisihan.