Perjanjian FIR Dinilai Janggal, Legislator Sarankan Pemerintah Dengarkan Pendapat Ahli

Legislator dari Fraksi PAN juga meminta pemerintah sampaikan detail perjanjian FIR

Senin , 07 Feb 2022, 12:05 WIB
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyampaikan paparannya saat rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/1/2022). Dalam rapat kerja tersebut Menteri Pertahanan Prabowo menyampaikan bahwa perjanjian penyesuaian ruang udara flight information region (FIR) antara Indonesia dengan Singapura tidak merugikan namun munguntungkan negara.
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyampaikan paparannya saat rapat kerja dengan Komisi I DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (27/1/2022). Dalam rapat kerja tersebut Menteri Pertahanan Prabowo menyampaikan bahwa perjanjian penyesuaian ruang udara flight information region (FIR) antara Indonesia dengan Singapura tidak merugikan namun munguntungkan negara.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perjanjian Flight Information Region (FIR) antara Indonesia dan Singapura dinilai janggal oleh sejumlah pakar dan praktisi lantaran dinilai melanggar Pasal 458 UU 1/2009 tentang penerbangan. Anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus, menyarankan agar pemerintah mendengarkan masukan para ahli dan praktisi tentang isi pasal perjanjian wilayah udara antara Indonesia dan Singapura tersebut.

"Sebagai yang mempunyai kepakaran di bidang hukum internasional, pendapat yang dikemukakan oleh para pakar hukum itu perlu menjadi perhatian serius oleh Pemerintah dan DPR sebagai pengawas Pemerintahan, untuk kemudian dilakukan kajian yang lebih konprehensif. Begitu juga masukan saran dan pendapat dari praktisi penerbangan dan pertahanan," kata  Guspardi dalam keterangan tertulisnya, Senin (7/2).

Guspardi memandang persoalan ini merupakan isu yang sensitif karena terkait permasalahan pengelolaan FIR antara Indonesia dengan Singapura di wilayah Kepulauan Riau dan Natuna. Ia menjelaskan, secara yuridis, pasal 458 UU No 1 tahun 2009 tentang penerbangan secara tegas menyatakan bahwa wilayah udara republik Indonesia yang pelayanan navigasi penerbangannya didelegasikan kepada negara lain berdasarkan perjanjian sudah harus dievaluasi dan dilayani oleh lembaga penyelenggara pelayanan paling lambat 15 tahun sejak undang-undang ini berlaku.

Namun dalam perjanjian antara Indonesia dengan Singapura pengelolaan FIR di atas wilayah tersebut masih didelegasikan kepada Singapura untuk jangka waktu 25 tahun ke depan. Sementara merujuk kepada UU No 1 tahun 2009 pelayanan navigasi yang  didelegasikan kepada negara lain sudah akan berakhir tahun 2024 mendatang. 

"Apakah yang disampaikan pakar hukum betul melanggar undang-undang atau gimana? Tentu perlu dicermati dan digali lebih mendalam. Tentu hal ini bukanlah pesoalan sederhana dan harus digali dan dikaji secara mendalam serta komprehensif. Apalagi menurut praktisi penerbangan dan pertahanan perjanjian ini dipaketkan dengan perjanjian pertahanan negara," ujarnya.

Legislator dapil Sumatra Barat itu berharap agar pemerintah mengundang para pakar hukum, praktisi penerbangan dan pertahanan guna mendapatkan keterangan dan penjelasan yang lebih komprehesif lagi tentang pengelolaan wilayah udara ini. Di lain sisi Pemerintah diharapkan juga dapat membuka secara detil isi perjanjian dengan Singapura itu guna menghindari bekembang menjadi isu liar dan menimbulkan perdebatan publik.

Sementara itu, politikus PAN itu juga mendorong tim bidang hukum Istana untuk melakukan pembahasan internal terhadap isi perjanjian FIR tersebut. Ia mengingatkan agar seluruh pihak dapat objektif, taat azas, taat hukum. 

"Kalau memang ini (FIR) dikhawatirkan melanggar Pasal 458 UU 1/2009 tentang batas wilayah, tentu harus segera dilakukan evaluasi," tegasnya.