Anggota DPR Dorong RUU PDP Disahkan November

Penggunaan data pribadi harus diawasi dan bisa dipertanggungjawabkan.

Jumat , 22 Oct 2021, 06:10 WIB
Seorang warga mengisi data pribadi untuk pengajuan menjadi anggota koperasi simpan pinjam sejahtera bersama secara daring menggunakan gawai di Jakarta, Senin (13/7/2020). Kementerian Koperasi dan UKM terus berupaya mendorong koperasi di Indonesia untuk  go digital, sebab digitalisasi menjadi kunci sukses dalam pengembangan koperasi.
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Seorang warga mengisi data pribadi untuk pengajuan menjadi anggota koperasi simpan pinjam sejahtera bersama secara daring menggunakan gawai di Jakarta, Senin (13/7/2020). Kementerian Koperasi dan UKM terus berupaya mendorong koperasi di Indonesia untuk go digital, sebab digitalisasi menjadi kunci sukses dalam pengembangan koperasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Anggota Komisi I DPR Muhammad Farhan mendorong Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) disahkan pada November 2021. Mengingat urgensi perlindungan data pada era digitalisasi sekarang ini.

"November besok adalah kesempatan terakhir kita selama 25 hari kerja untuk menentukan apakah kita akan meloloskan rancangan undang-undang ini atau tidak," kata Farhan dalam diskusi daring mengenai perlindungan data konsumen di Jakarta, Kamis (21/10).

Farhan mengatakan RUU PDP DPR telah melalui proses pembahasan di badan legislasi, badan musyawarah, hingga rapat paripurna. Namun hingga saat ini belum bisa mengesahkannya menjadi undang-undang. Sementara, menurutnya, regulasi mengenai perlindungan data pribadi semakin diperlukan belakangan ini agar tidak ada pihak yang menyalahgunakan.

Farhan mencontohkan kasus pinjaman online atau pinjol yang dapat mengakses nomor kontak di ponsel debiturnya dan menghubungi kontak tersebut untuk menagih utang. Dia mengatakan hal tersebut termasuk dalam melanggar perlindungan data pribadi. Dia juga menerangkan perlindungan data pribadi bisa bermacam jenisnya.

Farhan juga mengambil contoh pihak mal atau pusat perbelanjaan yang bisa mengirim SMS atau pesan WhatsApp pada ponsel seseorang yang sedang berada di lokasi yang sama juga dinilai bisa melanggar perlindungan data pribadi. Selain itu, Farhan juga menerangkan data pribadi sifatnya juga bisa nonelektronik seperti formulir kertas yang berisi identitas diri untuk keperluan administrasi, namun kertas tersebut bisa berakhir digunakan ulang untuk keperluan lain.

"Perlindungan data pribadi ini merupakan sebuah bentuk undang-undang yang sebetulnya sifatnya sangat futuristik, tapi harus diputuskan sekarang. Kalau tidak diputuskan sekarang menunggu perkembangan demi perkembangan lama-lama tidak akan pernah jadi itu undang-undang," katanya.

Menurutnya, penggunaan data pribadi oleh berbagai pihak seperti industri sebagai komoditas ekonomi maupun akademisi untuk kepentingan harus diawasi dan bisa dipertanggungjawabkan. "Untuk itu, memang dibutuhkan sebuah political will yang kuat dari pemerintah dan DPR RI agar undang-undang ini segera diberlakukan," kata Farhan.

Sumber : Antara