Anggota DPR Sarankan Sanksi bagi Pelanggar Tarif Rapid Test

Dua alternatif sanksi bisa diterapkan yakni yang bersifat administratif dan denda

Rabu , 08 Jul 2020, 23:58 WIB
Rapid test, (ilustrasi). Anggota DPR menyarankan adanya sanksi bagi pelanggar tarif rapid test.
Foto: Antara
Rapid test, (ilustrasi). Anggota DPR menyarankan adanya sanksi bagi pelanggar tarif rapid test.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penetapan tarif maksimal Rp 150 ribu oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk rapid test dinilai perlu disertai sanksi. Anggota Komisi IX (Kesehatan) DPR RI Saleh Partaonan Daulay menilai, ada dua jenis sanksi yang bisa diberikan bagi pelanggar ketentuan tersebut.

"Andaikata tetap ada batasan Rp 150 ribu, saya minta aturan itu ada sanksinya. Jika ada rumah sakit atau institusi kesehatan yang membebani lebih, mestinya sanksinya ada," kata Saleh saat dihubungi Republika, Rabu (8/7).

Baca Juga

Saleh mengatakan, dua alternatif sanksi bisa diterapkan bersifat administratif, dan kedua bersifat denda. Sanksi pertama adalah sanksi administrasi institusi kesehatan. Ia menyebutkan, sanksi administratif yang bisa ditimpakan bagi pelanggar misalnya penurunan kelas rumah sakit. "Sanksi administratif misalnya menurunkan grade rumah sakit," kata dia.

Sanksi kedua, lanjut Saleh, adalah berupa denda. Rumah sakit atau institusi kesehatan yang menetapkan tarif melebihi ketentuan Kemenkes. "Sehingga bila ada masyarakat mengadukan pada dinas terkait atau Kemenkes, nanti dinas atau Kemenkes bisa mendenda institusi kesehatan atau rumah sakit tersebut," ujarnya.

Politikus PAN itu menilai, tanpa adanya sanksi, maka pembatasan tarif rapid test yang ditetapkan Kemenkes tidak akan berjalan maksimal. "Kalau tidak, maka aturan tersebut tidak ada wibawanya dan sulit untuk ditegakkan," kata dia.

Harga maksimal Rp 150 ribu yang ditetapkan pemerintah dinilai Saleh tetap mahal bagi sebagian kalangan masyarakat. Padahal kebutuhan masyarakat akan rapid test kian meningkat dengan adanya regulasi pemerintah yang mensyaratkan tapi test untuk beraktivitas, seperti menggunakan kendaraan umum.

"Harganya tetap mahal, alangkah indahnya harusnya tetap difasilitasi oleh negara. Katanya kan alokasi Rp 75 triliun kan untuk penanggulangan Covid-19, nah kan itu belum dipakai seluruhnya masih sekitar yang kami baca baru beberapa triliun artinya masih banyak," kata Saleh.

Wakil Ketua Fraksi PAN itu menekankan, pelaksanaan rapid test mestinya dilakukan semakin masif dan luas oleh pemerintah. Semakin banyak rapid test, maka semakin banyak pula data untuk melacak deteksi awal penyebaran Covid-19.

Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor HK.02.02/I/2875/2020 tentang Batasan Tarif Tertinggi Pemeriksaan Rapid Test Antibodi. Menurut surat edaran tersebut, batasan tarif tertinggi untuk tes cepat antibodi adalah Rp 150 ribu.