Budaya Baca Pengaruhi Kualitas Generasi Muda

Budaya membaca di kalangan siswa Indonesia secara umum masih rendah.

Rabu , 28 Feb 2018, 08:55 WIB
Penumpang membaca buku yag disediakan di dalam salah satu mobil angkutan kota (angkot) di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (21/2).
Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Penumpang membaca buku yag disediakan di dalam salah satu mobil angkutan kota (angkot) di Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Rabu (21/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi X ingin gerakan literasi sekolah dikuatkan. Budaya membaca diyakini akan mempengaruhi kualitas generasi muda. Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Ledia Hanifa Amaliah menyampaikan, meski gerakan literasi sekolah sudah dicanangkan sejak 2015 lalu, budaya membaca di kalangan siswa Indonesia secara umum masih rendah. Setidaknya itu yang didapat dari berbagai studi soal minat baca di berbagai negara termasuk Indonesia.

"Kalau programnya sudah ada tetapi budaya membacanya masih dilaporkan rendah berarti perlu ada evaluasi program secara menyeluruh. Bagaimana sarana prasarana pendukung programnya. Bagaimana koordinasi lintas kementriannya dan terutama bagaimana implementasi di lapangan," kata Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (27/2).

Ledia mengingatkan bahwa mengasah budaya membaca pada siswa akan sangat mempengaruhi kualitas generasi muda masa depan. Membaca akan membantu siswa memperluas wawasan, menambah ilmu, mengolah pikiran dan menjadi batu pijakan sebelum menghasilkan karya tulis.

"Tetapi budaya ini harus disiapkan, ditumbuhkan, diasah, dibimbing dan diberi sarana prasarana yang memadai. Tidak bisa hanya diberi tugas, himbauan lalu diharapkan tumbuh menguat dengan sendirinya."

Selain itu, urai Ledia, selama ini budaya baca seringkali hanya disederhanakan pada ukuran "minat baca". Padahal budaya baca memiliki aspek lebih luas dan mendalam termasuk pada kemudahan akses, pembiasaan diri, contoh dari lingkungan, dan tentu saja kebijakan yang mendukung. Peraturan Menteri Pendidikan No 23 tahun 2015 memberikan terobosan penting.

"Yaitu dengan mewajibkan setiap hari ada 15 menit waktu membaca sebelum kegiatan belajar berlangsung, tapi belum terealisasi dengan baik," kata dia.

Mungkin, menurut Ledia, karena belum tersedia perpustakaan atau ada perpustakaan tetapi buku-bukunya kurang. Bisa juga karena kegiatan ini tidak rutin dilakukan, tidak ada evaluasi atau bisa jadi karena tenaga pendidik dan orangtua sendiri tidak memberikan contoh gemar membaca.

Karena itu, Ledia meminta pemerintah untuk membuat evaluasi program secara menyeluruh dan melakukan penguatan program. Buku-buku bagi sekolah perlu diperbanyak, begitu juga perpustakaan keliling untuk menjangkau masyarakat pedalaman. Para guru perlu diberi pelatihan dan penguatan program literasi.

"Bahkan orangtua pun perlu digandeng untuk sama-sama membangun budaya baca ini menjadi kebiasaan siswa," kata Ledia.

Tak cukup itu, untuk melengkapi semua desain gerakan literasi sekolah ini Ledia mengingatkan pentingnya membiasakan evaluasi program secara rutin dan berkala. Baik evaluasi dari guru kepada siswa maupun dari dinas pendidikan kepada sekolah.

Bagi siswa bisa saja diminta menceritakan kembali bacaannya di depan kelas atau dituliskan. Libur sekolah bisa diberi tugas membaca buku, bedah buku atau resensi buku," ucap Ledia.

Lanjut Ledia, kunjungan pendidikan bisa dilakukan ke perpustakaan daerah. Kemudian sekolah pun bisa memiliki laporan tahunan berapa dan apa saja buku-buku yang dibaca. Maka dengan demikian, Ledia berharap ke depannya akan terjadi peningkatan budaya membaca yang lebih luas dan terukur.