DPR Minta Australia Relaksasi Hambatan Non-Tarif

Jumat , 27 Oct 2017, 15:11 WIB
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Rofi Munawar foto bersama di sela-sela pertemuan dengan Australia – Indonesia  Business Council (AIBC) di Canberra.
Foto: DPR RI
Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Rofi Munawar foto bersama di sela-sela pertemuan dengan Australia – Indonesia Business Council (AIBC) di Canberra.

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Rofi Munawar meminta Pemerintah Australia melakukan relaksasi terhadap hambatan perdagangan bagi produk-produk Indonesia yang hendak masuk ke Negeri Kangguru tersebut. Hal itu disampaikannya dalam rangkaian kunjungan Panitia Kerja (Panitia Kerja) Ekonomi Regional ke Australia.

 

Menurut Rofi, Indonesia dan Australia sebenarnya dapat memanfaatkan mekanisme Indonesia – Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA) yang saat ini tengah dalam proses negosiasi. Sebab berbeda dengan trade agreement lainnya, IA-CEPA tidak hanya sekadar terfokus pada FTA tetapi ada aspek development dan kerja sama peningkatan kapasitas.

"Sehingga kami berharap melalui IA-CEPA Pemerintah Australia dan Indonesia dapat bekerja sama untuk meningkatkan standar produk-produk Indonesia yang selama ini cukup banyak permintaan dari Australia. Namun dalam beberapa kesempatan terkendala karena regulasi dan hambatan non-tarif yang terlampau ketat“ ungkap Rofi Munawar di sela-sela pertemuan dengan Australia – Indonesia  Business Council (AIBC) di Canberra hari Rabu (25/10) lalu.

 

Dalam rilis yang diterima, politikus dari dapil Jawa Timur ini memberikan penjelasan, selain standardisasi, hambatan perdagangan yang saat ini mempengaruhi produk Indonesia antara lain standar karantina yang dinilai terlalu tinggi, praktek dumping, serta persyaratan packaging dan labelling.

 

Hambatan tersebut menyebabkan distorsi performa ekspor Indonesia ke Australia dan mengakibatkan belum maksimalnya kapasitas produksi ekspor di Indonesia untuk memenuhi permintaan impor dari Australia.

 

“Hambatan non-tarif ini tentu saja secara faktual memberatkan produk-produk Indonesia yang juga harus bersaing dengan Negara-negara lain, seperti Tiongkok, Thailand, Malaysia dan Vietnam untuk produk sejenis,” ulasnya.

 

Ia menambahkan, dalam kurun waktu 2012-2016, Kementerian Perdagangan RI  mencatat tren penurunan total perdagangan sebanyak 4,63 persen. Indonesia merupakan pasar terbesar kedua bagi produk gandum Australia, dan merupakan pasar terbesar ternak hidup dan produk daging serta kapas Australia. Diharapkan IA-CEPA yang ditargetkan akan selesai dinegosiasikan tahun ini dapat mulai diberlakukan tahun depan sehingga membuka pasar

baru dan peluang bisnis bagi produsen utama, penyedia jasa, dan investor.

 

“Harapan kalangan pebisnis Australia agar IA-CEPA agar dimanfaatkan untuk lebih dari sekedar bilateral two way trade, tetapi juga untuk joint venture mencari pasar di negara ketiga,” pungkas Rofi.

Kegiatan panja ekonomi regional BKSAP DPR RI  ini dilakukan dalam rangka memperoleh masukan mengenai langkah-langkah strategis yang dilakukan oleh Australia dan negara-negara di Pasifik, terutama sehubungan dengan implementasi kerangka kerjasama ekonomi regional untuk kepentingan ekonomi nasional. Selain itu juga, menunjukkan komitmen Parlemen Indonesia dalam mendukung kerjasama ekonomi regional.