DPR Kunjungi NTT Bahas Masalah Ketenagakerjaan

Selasa , 06 Dec 2016, 13:16 WIB
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf.

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Komisi IX DPR melakukan kunjungan kerja ke Kantor Gubernur Nusa Tenggara Timur, Selasa (5/12) untuk membahas sejumlah masalah ketenagakerjaan yang belum tuntas bersama pemerintah daerah setempat. Ketua Tim Kunjungan Kerja Komisi IX DPR Dede Yusuf menyebutkan ada beberapa persoalan strategis yang penting dibicarakan bersama terkait ketenagakerjaan di daerah setempat seperti TKI ilegal, jaminan ketenagakerjaan serta, pengupahan.

"Kita berharap berbagai kendala yang dialami pemerintah bisa di-share-kan langsung termasuk kebijakan dari pusat yang dianggap belum bisa menjawab persoalan yang ada," kata politisi dari F-Demokrat itu.

Wakil Gubernur NTT Benny Alexander Litelnoni pada kesempatan itu mengakui, banyak persoalan ketenagakerjaan di daerah setempat yang belum diselesaikan secara komprehensif, salah satunya persoalan upah. Banyak perusahaan yang tidak memberikan taget pengupahan sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015.

Dia mengatakan, untuk upah minimum provinsi (UMP) di daerah setempat yang ditentukan untuk tahun 2017 sebesar Rp 1.525.000. "Harus diakui bahwa UMP kita masih jauh lebih kecil dibandingkan daerah lain, meskipun sudah ditetapkan sesuai dengan berbagai pertimbangan melalui Dewan Pengupahan," katanya.

Selain itu, kata Benny, masih banyak pula tenaga kerja yang berangkat keluar negeri melalui jalur ilegal dengan pemalsuan sejumlah dokumen dan paspor. "Tenaga kerja berangkat melalui "jalur tikus" dan ketika mengalami kecelakaan atapun kematian baru informasinya diperoleh pemerintah," katanya.

Untuk itu, lanjut dia, pemerintah setempat telah menempuh berbagai upayah pencegahan baik melalui satgas gabungan maupun membentuk layanan satu pintu ketenagakerjaan. Dia juga berharap agar DPR juga bisa memperhatikan kebijakan terkait perusahaan perekrut tenaga kerja setempat yang diketahui berpraktek menyimpang memperdagangkan tenaga kerja.

"Selama ini perusahaan perekrut tenaga kerja di NTT kebanyakan dari Jawa namun tenaga kerja yang direkrut itu kemudian diover lagi ke perusahaan lain," kata dia.

Sumber : antara