'Swasembada Sapi Paling Cepat 15 Tahun Lagi'

Rabu , 22 Jun 2016, 16:45 WIB
Daging sapi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan
Foto: ROL/MGROL72
Daging sapi di Pasar Minggu, Jakarta Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Daniel Johan meragukan cita-cita Presiden Joko Widodo mencapai swasembada sapi sepuluh tahun. Sebab dalam hitungannya, pencapaian swasembada paling cepat tercapai 15 tahun kemudian. Itu pun dengan syarat keberjalanan program yang dicanangkan terlaksana konsisten berdasarkan data yang akurat dan valid.

"Kalau benar bisa sepuluh tahun, itu luar biasa banget," katanya kepada Republika.co.id, Rabu (22/6).

Jangka waktu lima belas tahun merupakan waktu tercepat jika memperhatikan kondisi persapian nasional saat ini. Tidak seperti padi atau ayam, pengembangbiakan sapi memerlukan waktu lama.

Ketika sapi baru lahir, belum bisa langsung menjadi sapi potong sebab harus diagendakan perbanyakan sapi indukan. Pada kenyataannya saat ini sapi indukan lokal pun kurang, bahkan rajin disembelih.

"Makanya pemerintah masih memprogramkan impor sapi indukan meski realisasinya minim," paparnya.

Daniel menilai segala program yang dicanangkan pemerintah dalam memperbanyak populasi sapi lokal sangat baik dari sisi teoritis. Ia menyebutkan program tersebut misalnya melakukan geretak birahi, inseminasi buatan, program integrasi sapi sawit, pencegahan penyembelihan sapi betina maupun Sentra Peternakan Rakyat (SPR).

Namun yang menjadi tantangan adalah pelaksanaannya yang konsisten dan nyata. "Upaya pencapaian swasembada sapi bukan hal baru, dari zaman pemerintahan sebelumnya pun sudah ada," ujarnya.

Namun program tersebut belum kunjung tercapai karena tidak dilaksanakan secara sistematis. Menurut dia, sembari mengupayakan pencapaian swasembada daging, kebijakan impor daging maupun sapi bakalan menurutnya harus terus dilakukan. Karena jika tidak, masyarakat akan mengandalkan ketersediaan daging dari sapi lokal yang jumlahnya masih minim, bahkan menyembelih sapi betina.

Jika situasi tersebut dibiarkan, yang terjadi cita-cita swasembada makin jauh dari harapan. "Syaratnya, kuota impor harus berdasarkan kebutuhan dan diperhitungkan dengan pasokan, jumlahnya harus terkendali agar tidak merugikan peternak lokal," kata dia.