DPR: Pemberantasan Korupsi Harus Seimbang dan Terintegrasi

Sejak 2015 skor IPK meningkat menjadi 36 dan menempati posisi 88 dari 168 negara

Rabu , 23 May 2018, 23:12 WIB
Ketua DPR RI - Bambang Soesatyo
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Ketua DPR RI - Bambang Soesatyo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) menilai strategi yang efektif dalam pemberantasan korupsi adalah pendekatan yang seimbang dan terintegrasi antara pencegahan dan penindakan korupsi. Menurut Bamsoet, terlalu fokus pada strategi penindakan saja, ibarat membersihkan lantai yang basah tanpa menutup genteng yang bocor atau sumber yang menjadi penyebab lantai basah dan kotor.

Menurut Bamsoet, sistem dan proses pemerintahan baik di eksekutif, legislatif dan yudikatif yang bocor dan memberi peluang terjadinya korupsi, haruslah diperbaiki KPK. Sehingga keberhasilan KPK bukan hanya dilihat dari seberapa banyak kasus OTT yang telah dilakukan serta berapa banyak orang yang ditangkap dan dijadikan tersangka.

"Tetapi juga harus dilihat dari berapa besar kerugian negara yang bisa dicegah dan diselamatkan," ujar Bamsoet dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (23/5).

Politikus Partai Golkar ini menuturkan, tindak pidana korupsi yang terjadi dari tahun ke tahun dengan berbagai modus dan pelaku menunjukan trend peningkatan. Walaupun berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang diterbitkan oleh Transparansi Internasional pada 2017 skor IPK Indonesia naik satu poin menjadi 37, tetapi sesungguhnya peringkat Indonesia turun dua tingkat.

"Yakni, menjadi peringkat ke 90 dari 176 negara. Kenaikan skor IPK belum menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam pemberantasan korupsi," tambahnya.

Lanjut Bamsoet, secara data keseluruhan, skor IPK memang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Sejak reformasi 1998 sampai tahun 2010, IPK masih dibawah 3,0 dan selalu berada di atas posisi 100 dibanding negara lainnya. Di era Presiden Jokowi, tahun 2015 skor IPK meningkat menjadi 36 dan menempati posisi 88 dari 168 negara. Naik satu poin di tahun 2016 menjadi 37 dan tetap stagnan hingga 2017.

"Walaupun capaiannya sudah bagus, namun kita tak boleh berpuas diri. KPK harus lebih efektif dan efisien lagi dalam pemberantasan korupsi," ujar Bamsoet

Bamsoet juga memandang, selama 14 tahun kiprah KPK telah membuat shock terapi dan ketakutan bagi penyelenggara negara untuk melakukan praktik korupsi. Di tahun 2017 KPK telah memecahkan rekor dalam melakukan 19 operasi tangkap tangan (OTT). Meningkat dibanding tahun 2016 dengan 17 OTT. Sedangkan di tahun 2018 ini KPK telah melakukan setidaknya 9 OTT.

"Dibandingkan Kepolisian dan Kejaksaaan, KPK punya keistimewaan tertentu karena fungsi penyidikan dan penuntutan dilakukan satu atap. Ada juga kewenangan penyadapan sehingga KPK bisa gencar melakukan OTT. Namun, OTT ternyata tak membuat jera ataupun mereduksi praktik korupsi. KPK perlu memainkan strategi yang jitu sehingga menutup celah kesempatan orang-orang untuk melakukan korupsi," papar Bamsoet.

Mantan Ketua Komisi III DPR ini mengharapkan kedepannya KPK bisa memaksimalkan kerjasama dengan pihak terkait seperti inspektorat jenderal di kementerian/lembaga. Koordinasi dan supervisi juga harus dimaksimalkan oleh KPK terhadap kepolisian dan kejaksaan agar tugas-tugas KPK dapat dilakukan secara seimbang. Kemudian jika peran dan fungsi KPK efektif, maka seharusnya korupsi menurun, bukan malah bertambah. KPK ke depan menghadapi tantangan yang besar dalam pemberantasan korupsi.

"Tidak hanya dari banyaknya kasus yang ditangani dan kompleksitas korupsi yang terjadi, tetapi juga harapan publik yang besar terhadap keberhasilan kinerja KPK," tutur Bamsoet.