Komisi III Kritik Peran Pencegahan Terorisme dari BNPT

Senin , 29 May 2017, 14:07 WIB
Anggota keluarga korban bom Kampung Melayu bersama Simpatisan menyelenggarakan aksi simpatik di lokasi kejadian bom, Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Ahad (28/5).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Anggota keluarga korban bom Kampung Melayu bersama Simpatisan menyelenggarakan aksi simpatik di lokasi kejadian bom, Terminal Kampung Melayu, Jakarta, Ahad (28/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Wihadi Wiyanto mempertanyakan peran Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan  Densus 88. Itu setelah terjadi teror ledakan bom bunuh diri yang terjadi di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu malam (24/5) lalu.

Wihadi melihat pada peristiwa terdapat pola, bom bunuh diri di Terminal Kampung Melayu dan di Manchester, sudah terjadwalkan. "BNPT seharusnya sudah bisa mendeteksi. Kita tidak melihat peran yang berarti dari BNPT," ungkapnya dalam situs resmi DPR RI, Senin (29/5).

 

Sementara, anggota Komisi III DPR  lainnya, Daeng Muhammad mengatakan, tidak ada satu agama pun yang membolehkan persoalan terorisme, ia mengecam hal tersebut. Namun Daeng tidak mempersoalkan cepatnya reaksi dari kepolisian, tapi mempertanyakan bagaimana upaya kepolisian dalam mencegah kasus radikalisme di Indoneia.

 

"Bukan persoalan bagaimana cepatnya reaksi  kepolisian,  bukan juga persoalan responsibilty  kepolisian terhadap kasus kasus terorisme, tapi bagaimana upaya pencegahan terhadap kasus-kasus radikalisme di republik ini,” kata dia.

Menurutnya, radikalisme itu muncul karena ketidakpuasan. Tujuan terorisme adalah instabilitas ketakutan yang menginginkan negara ini akhirnya terpecah karena persoalan-persoalam seperti itu. Oleh karena itu, upaya-upaya apa yang harus dilakukan  para penegak hukum terutama kepolisian yang bertanggungjawab secara undang-undang untuk melakukan keamanan terhadap negara ini. Kemudian juga bagaimana respons terhadap pola pencegahan, pendekatan-pendekatan apa yang digunakan, secara spiritualismekah, kebudayaankah.

"Sehingga mereka mampu memahami bagaimana polarisasi bernegara yang tidak perlu lagi dengan pola-pola seperti terorisme," kata dia.