Imam Al-Ghazali dan Tasawuf Dituduh Jadi Penyebab Kemunduran Umat Islam, Benarkah?

Kondisi sosio kultural pada masa Imam Al-Ghazali tidak stabil

ANTARA FOTO/Syaiful Arif
Ilustrasi tradisi ilmiah umat Islam. Kondisi sosio kultural pada masa Imam Al-Ghazali tidak stabil
Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Benarkah kejumudan dunia pemikiran Islam selama ini terpulang sepenuhnya kepada peran Al-Ghazali?

Baca Juga

Setelah lama Al-Ghazali dituding sebagai salah satu penyebab kemunduran dunia pemikiran Islam, orang kini mulai berpikir ulang, cukup adilkah tudingan itu? Rasanya agak berlebihan mengatakan bahwa ''tragedi'' dunia pemikiran Islam itu sepenuhnya akibat ulah tokoh sufi ini.

Betapapun, Al-Ghazali adalah orang pertama di zamannya, yang mengajak kalangan Sunni untuk berpaling pada Logika Aristoteles dalam telaah ilmiah mereka.

Ketika ahli fikih di zamannya menganggap Logika Aristoteles sebagai barang haram dan hina, Al-Ghazali justru mengatakan, ''Siapa yang tidak menguasai logika, ilmunya layak diragukan.'' Dia mengarang tiga buku tentang logika.

Karena itu, faktor keterbelakangan Dunia Islam harus dilihat dari aspek lain, misalnya faktor sosio-kultur.

Al-Ghazali hidup di zaman ketika Dunia Islam kehilangan ciri kosmopolitannya. Saat itu mereka terpecah dalam banyak mazhab, banyak garis kesukuan, kebahasaan, kedaerahan, bahkan ideologi negara.

Dunia Islam saat itu dipenuhi oleh fragmentasi sosial-politik dan alam pikiran yang tidak terkontrol, dibarengi oleh merebaknya penyempitan paham dan kurangnya toleransi sesama Muslim.

Nasionalisme Persia mulai lahir justru ketika Al-Ghazali masih hidup. Sepeninggal Al-Ghazali adalah masa ketika ''tragedi'' sektarianisme itu semakin konkret dipertontonkan, saat Dinasti Safawiyah secara sengaja menjadikan Syiah sebagai ideologi negara, hanya karena permusuhannya dengan sesama Muslim di India dan Turki.

Kondisi sosial seperti itu, pada gilirannya, menciptakan suasana tidak toleran yang bersifat global di kalangan umat Islam. Tak segan-segan masyarakat jadi terdorong untuk mengubah tradisi perbedaan paham yang dinamis menjadi percekcokan dan konflik politik yang kotor. Konflik duniawi semacam itu acap menyatakan diri dalam konflik paham keagamaan.

Dalam kondisi serba mundur...

 

Dalam kondisi serba mundur dan Dunia Islam tenggelam konflik internal itulah, pada abad yang sama, Dunia Barat mengalami masa kejayaan renaisance. Hanya dalam waktu dua abad, Eropa mampu menyamai bahkan menandingi kejayaan Umat Islam saat itu.

Bahkan di Abad XVI, selang dua abad setelah ini, tiba-tiba saja mereka telah jauh meninggalkan Dunia Islam, yang masih saja terengah-engah akibat konflik internnya.

Karenanya, terlalu cepat mengatakan bahwa kemunduran umat ini, secara utuh, lebih disebabkan oleh rendahnya mentalitas kaum Muslimin yang enggan berpikir kritis akibat anjuran Al-Ghazali menjauhi filsafat.

Tradisi tasawuf, yang kerap diidentikkan dengan kecenderungan paham Jabariah (fatalisme), juga tidak bisa menjadi ''kambing hitam''.

Sejarah membuktikan, banyak kelompok dan ajaran tasawuf justru menjadi pembangkit gerakan antikolonialisme di banyak Dunia Islam, termasuk Indonesia. Dalam suatu komunitas yang tercengkeram penjajahan, gerakan ini seolah-olah api dalam sekam.

Ia menjadi penghangat sekam yang melembab, untuk kemudian berubah jadi api yang berkobar saat kekuatan eksternal menghembuskan perlawanan.

Bahkan saat ini, bisa disaksikan misalnya, sekelompok orang yang menjalankan tasawuf secara modern dan ilmiah justru menyuntikkan etos kerja yang hebat, bagi kebangkitan perekonomian dan pencerahan. 

Teladan Imam Ghazali dalam tradisi ilmiah (ilustrasi), ilustrasi ulama - (republika)

 
Berita Terpopuler